TRIBUNNEWS.COM - Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti mengungkapkan landasan Mahkamah Agung (MA) untuk mengabulkan gugatan terkait aturan batas usia kepala daerah terlalu dangkal.
"Saya tadi sudah baca detail keputusannya sampai saya catat seluruh nomor halaman, kita bisa lihat pertimbangan hakim sangat-sangat dangkal," katanya dalam program Kompas Petang yang ditayangkan di YouTube Kompas TV, Kamis (30/5/2024).
Bivitri pun lantas menjelaskan kedangkalan landasan hakim MA sehingga memutuskan untuk mengabulkan gugatan tersebut.
Pertama, dia menyebut MA seharusnya tidak berlandaskan UUD 1945 ketika akan mengubah suatu perundang-undangan.
"Karena Mahkamah Agung itu menguji peraturan perundang-undang di bawah undang-undang terhadap undang-undang dan bukannya terhadap UUD 1945," jelasnya.
Kedua, Bivitri mengatakan adanya original intent atau penafsiran tekstual dari hakim MA terkait UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Adapun penafsiran tekstual tersebut, kata Bivitri, soal pengubahan aturan batas usia kepala daerah ini demi mengakomodir peluang kalangan muda untuk maju dalam kontestasi pemilihan daerah.
Padahal, sambungnya, MA tidak pernah menjelaskan poin tersebut kepada publik.
"Jadi ada simpulan yang terburu-buru (dari hakim MA)," tutur Bivitri.
Baca juga: Ini Alasan MA Hanya Butuh 3 Hari Ubah Aturan Syarat Usia Calon Kepala Daerah
Bivitri pun menganggap publik boleh untuk mencurigai maksud lain terkait pengabulan gugatan MA ini.
"Jadi dari dangkalnya penalaran hukum itu, kita sudah boleh mencurigai kalau ada sesuatu yang bisa kita gali lagi dari keputusan seperti itu," pungkasnya.
Diketahui, MA mengabulkan permohonan uji materill dari Ketua Umum Partai Garuda, Ahmad Ridha Sabana, selaku pemohon terkait aturan batas minimal usia calon gubernur dan wakil gubernur.
"Kabul Permohonan HUM," demikian bunyi putusan nomor 23 P/HUM/2024 seperti dikutip dari laman MA.
Pada pertimbangannya, MA menganggap Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.