TRIBUNNEWS.COM - Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menanggapi soal polemik partai cokelat atau parcok di Pilkada serentak 2024.
Partai cokelat diasosiasikan dengan dugaan pengerahan aparat kepolisian untuk suara di Pilkada serentak 2024.
Isu ini menyeruak setelah PDI Perjuangan (PDIP) menyuarakan dugaan kecurangan Pilkada 2024 akibat pengerahan Partai Cokelat, khususnya di Pilkada Jawa Tengah dan Sumatera Utara.
Listyo menegaskan bahwa dirinya bukan lah bagian dari partai.
Oleh sebab itu, ia pun meminta isu parcok dan intervensi Pilkada 2024 ditanyakan kepada para anggota partai.
"Tanya partai lah, saya kan bukan dari partai" kata Listyo sembari melempar senyum kepada awak media di Rupatama Mabes Polri, Kamis (4/12/2024).
Sambil berlalu, Listyo memilih enggan menjawab lebih lanjut isu tersebut.
Sebelumnya, PDIP menilai partai cokelat ini dikerahkan oleh Presiden ke-7 RI Joko Widodo untuk Pilkada 2024.
Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto menyebut Jokowi, PJ (penjabat) Kepala Daerah, dan "Partai Cokelat" sebagai bagian dari sisi gelap demokrasi di pilkada serentak.
PDIP menuding ketiga elemen ini melakukan berbagai intimidasi ke berbagai pihak untuk memenangkan calon yang didukungnya.
"Sisi gelap demokrasi ini digerakkan oleh suatu ambisi kekuasaan yang tidak pernah berhenti."
Baca juga: Tim Hukum PDIP Siapkan Saksi dan Bukti Dugaan Keterlibatan Parcok di Pilkada 2024 untuk Dibawa Ke MK
"Ini adalah perpaduan dari tiga aspek: ambisi Jokowi, gerakan Partai Cokelat, dan PJ Kepala Daerah. Ini menjadi kejahatan terhadap demokrasi," kata Hasto Kristiyanto dalam konferensi pers di kantor DPP PDI Perjuangan, Kamis (28/11/2024).
Kapolri Dinilai Harus Tanggung Jawab
Dalam kesempatan yang sama, Ketua DPP PDIP, Deddy Sitorus, mengatakan, pihak yang juga harus bertanggung jawab atas dugaan intervensi ini adalah Kapolri sebagai pucuk pimpinan Polri.
"Beliau bertanggung jawab terhadap institusi yang dia kendalikan, yang dia pimpin, yang ternyata merupakan bagian dari kerusakan demokrasi kita."
"Ini tanggung jawab yang saya kira harus dibebani di pikul sepanjang sejarah kita," ujarnya, Kamis.
Padahal, kata Deddy, Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri sudah bersusah payah memisahkan Polri dari ABRI.
Tujuannya tak lain untuk melayani dan melindungi masyarakat.
Namun, kata Deddy, yang terjadi justru aksi Kepolisian sangat parah dalam Pilkada.
Deddy Sitorus menyebut bahwa pelanggaran Pilkada 2024 bahkan Pilpres 2024 adalah manifestasi dari budaya politik yang oleh partainya disebut Jokowisme.
Menurutnya, budaya Jokowisme itu menghalalkan segala cara untuk mencapai kemenangan dalam Pemilu termasuk dengan mengerahkan aparat kepolisian.
"Budaya politik buruk ini kami namakan sebagai budaya Jokoisme karena bermula pada saat seorang penguasa bernama Jokowi.
"Dengan segala cara dan kekuasaan yang dimilikinya, melakukan upaya-upaya untuk menghasilkan Pemilu sesuai keinginannya," ujar Deddy.
PDIP Siapkan Saksi dan Bukti Dugaan Keterlibatan Parcok
Ketua DPP PDIP Bidang Reformasi Sistem Hukum Nasional Ronny Talapessy mengatakan, tim hukum PDIP tengah menyiapkan saksi dan bukti dugaan keterlibatan oknum polisi dalam Pilkada 2024.
Ronny mengatakan, pihaknya mencatat dugaan keterlibatan anggota kepolisian dalam sejumlah Pilkada di antaranya di Jawa Tengah, Sulawesi Utara, Papua Pegunungan, dan lainnya.
Hal tersebut diungkapkannya saat konferensi pers di Sekolah Partai PDIP Lenteng Agung Jakarta Selatan, Rabu (4/12/2024).
"Tentunya hal-hal ini, kami dari tim hukum mempersiapkan saksi, bukti, dan kami sudah menyusun semua keterangan yang ada. Kepentingan kami adalah untuk nanti pembuktian di Mahkamah Konstitusi (MK)," kata Ronny.
"Jadi diskusi terkait dengan keterlibatan Kepolisian, ASN, Kepala Desa, dan Pj, kami dari tim hukum PDIP sudah mengumpulkan bukti-bukti tersebut."
"Jadi terlalu dini kalau ada yang menyampaikan ini tidak benar, ini hoaks. Menurut kami, kami punya bukti yang cukup, dan itu nanti akan kita buktikan di MK," sambungnya.
(Tribunnews.com/Milani/Gita Irawan)