TRIBUNNEWS.COM, CIMAHI – Satu di antara keunikan warga Kampung Adat Cireundeu Cimahi adalah makanan pokok sehari-hari mereka, yaitu rasi atau beras singkong.
Semua warga Kampung Adat Cireundeu wajib mengonsumsi makanan pokok ini. Rasi ini merupakan perasan singkong yang dikeringkan sehingga akhirnya bertekstur mirip beras.
Kemudian setelah melalui beberapa tahapan hingga dimasak, rasi ini baru bisa dikonsumsi dengan lauk pauk seperti makan nasi pada umumnya.
Kampung Adat Cireundeu terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat.
Hampir tak terdengar hiruk pikuk kota dan bising kendaraan bermotor di kampung yang jaraknya 8,4 kilometer dari pusat Kota Cimahi.
Uniknya, kampung ini berdekatan dengan trase atau jalur Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB).
Abah Widiya, tokoh masyarakat Kampung Adat Cireundeu, mengatakan, meski zaman sekarang sudah berkembang, tapi warga di Kampung Adat Cireundeu tak akan kehabisan singkong.
Mereka masih mempertahankan lahan warisan nenek moyang itu, lahan untuk menanam singkong masih tetap utuh.
"Lahan yang ditanam singkong masih ada sekitar 58 sampai 60 hektare itu lahan pribadi masing warga yang sudah dibikin kesepakatan dibikin hutan larangan, hutan tutupan, dan hutan baladahan," kata Abah Widiya beberapa waktu lalu.
Atas hal tersebut, warga asli Kampung Adat Cireundeu yang berjumlah 60 KK, selama ini masih tetap bertahan mengkonsumsi rasi.
Sedangkan untuk warga pendatang atau menantu, dan sanak saudara lainnya tak dilarang mengkonsumsi nasi.
Alasan warga adat masih setia untuk mengkonsumsi rasi tersebut karena sejak lahir sudah dibarengi hukum adat, sehingga tak bisa sembarangan jika mereka mau beralih ke makanan pokok yang lain.
"Kalau kita beralih sembarangan, berarti hukum adat ini dilanggar. Tapi kalau ingin beralih makan nasi harus ada ritual atau selametan untuk menolak bala dan pamali agar makanan yang masuk ke tubuh kita tidak menjadi sebuah penyakit," lanjut Abah Widiya.
Khusus warga asli Kampung Adat Cireundeu, kata dia, sebaiknya jangan bersembunyi-sembunyi jika ingin beralih untuk mengkonsumsi nasi dan tentunya harus tetap terbuka kepada sesepuh adat.
"Harus terbuka karena di sini ada sesepuh dan keluarga, tinggal bicara saja, enggak masalah dan tidak akan dapat hukuman karena apapun yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa itu untuk kebutuhan kehidupan," ucapnya.
Seorang warga Kampung Adat Cireundeu, Atikah (72) mengatakan, selama hidupnya ia sama sekali belum pernah mengkonsumsi nasi karena selain tidak terbiasa, ia juga ingin tetap mempertahankan budaya leluhur.
"Sampai sekarang saya masih mengkonsumsi rasi karena sudah jadi makanan turun temurun dari nenek moyang saya. Apalagi nasi singkong itu kan teksturnya padat, jadi makan sedikit juga bisa langsung kenyang," kata Atikah.
Dengan mengkonsumsi rasi sejak lahir, Atikah sendiri sampai saat ini tak pernah tergantung pada beras, apalagi selama puluhan tahun, keluarganya tak pernah kekurangan stok singkong sebagai bahan baku rasi itu.
"Semuanya (keluarga) makan rasi, kalau saya makan rasi sejak lahir tahun 1950, kalau urang tua sejak tahun 1918 atau sudah 100 tahun lebih makan rasi dan sama sekali belum pernah makan nasi," katanya.
Dengan kebiasaan memakan rasi tersebut, Atikah dan semua anggota keluarganya sampai saat ini tak tergoda untuk mengkonsumsi nasi meskipun banyak pendatang yang memakan nasi sebagai makanan pokok.
"Enggak mau (makan nasi) sudah terbiasa makan rasi, kalau bahasa Sundanya teu kabita. Intinya, kalau bukan keturunannya yang meneruskan (makan rasi) siapa lagi," ucap Atikah.
Warga lainnya, Sopiah (41) mengatakan, sejak lahir sampai saat ini, ia juga tetap makan rasi.
Sebaliknya, sang suami yang merupakan warga pendatang, tetap makan nasi, karena tak terbiasa makan rasi.
"Meski suami dan anak makan nasi, kalau saya sama orang tua masih tetap makan rasi. Jadi, saya membeli rasi dari petani singkong," ujar Sopiah yang membeli rasi Rp 12 ribu perkilogram.
Sebetulnya, kata dia, memasak rasi ini sama saja seperti memasak nasi pada umumnya.
Bahkan untuk tahapannya bisa lebih cepat ketimbang nasi yang berasnya harus dicuci terlebih dahulu sebelum dimasak.
"Jadi untuk saat ini masih belum mau makan nasi, tapi kalau nanti mau beralih, harus selametan dulu karena aturan adatnya seperti itu. Kalau anak sudah ganti ke nasi dan selametan juga karena saat itu kerja di luar daerah susah nyari rasi," katanya.
Dengan adanya 60 KK yang masih mengkonsumsi rasi ini bisa diartikan, bahwa budaya Kampung Adat Cireundeu masih tetap bertahan di tengah perkembangan zaman.
Suasana di Kampung Adat Cireundeu terasa tenang. Di gerbang kampung, pengunjung disambut sebuah saung dengan ucapan selamat datang dengan aksara Sunda dan tugu mungil Wangsit Siliwangi.
Meski disebut kampung adat, rumah-rumah di Cireundeu sudah modern, tidak seperti kampung adat lain seperti Kampung Naga di Tasikmalaya masih beratap ijuk aren.
Di sepanjang kampung, kita akan mendapati beberapa gazebo beratap ijuk dan Bale Saresehan yang digunakan untuk ritual adat, dan pagelaran seni budaya.
Kampung seluas 64 hektare, terdiri atas 4 hektare permukiman dan 60 hektare lahan pertanian, ini dihuni 400 keluarga yang menganut agama Sunda Wiwitan.
"Kampung Adat Cireundeu bukan waktu sebentar, sudah ada sejak ratusan tahun lalu dan masyarakatnya tetap ajeg (ada) karena di dalamnya ada kekuatan tradisi, budaya, dan ritual," ujar Abah Widiya (60) kepada Tribun Jabar Tribun Network.
Abah Widiya mengatakan, warganya sangat kuat menjalani adat dan tradisi sehingga tetap lestari sampai sekarang.
Ritual besar yang dijalankan sampai sekarang adalah peringatan Tahun Baru 1 Sura.
Di dalamnya ada upacara Nutup Taun (Tutup Tahun) dan Ngemban Taun (Menyambut Tahun Baru) Saka dalam penanggalan Sunda.
Meski begitu, warga kampung Cireundeu tidak menolak modernitas, dan optimis menatap masa depan, termasuk menatap 2023.
Seperti masyarakat modern lain, warga di kampung ini juga mempunyai ponsel untuk berkomunikasi.
"Perkembangan zaman dan teknologi tak pernah ditolak karena itu masuknya menjadi kebutuhan. Tapi, kami juga punya konsep dan aturan, seperti tetap gelar ritual dan pertemuan sesepuh, jadi serangan kemajuan zaman akan tetap terjaga dengan cara-cara seperti itu," ujarnya.
Namun jangan coba-coba mengusik tanah mereka. Abah Widiya bercerita, pada 2018 di sebuah bukit di Cireundeu akan dibangun perumahan dan pada 2019 akan dibuka jalur off road.
Sontak warga merapatkan barisan menolak rencana itu.
Menurut Abah Widiya, warga dan pemerintah harus bersinergi untuk menjaga alam. "Harus ada untuk menjaga alam," katanya.
"Konsep orangtua kita dulu juga ada tata ruang, dan itu sudah jadi aturan yang enggak boleh dilanggar karena pamali, sehingga kalau sudah enggak boleh, ya jangan diubah," ujarnya.(Tribunnews.com/TribunJabar/Hilman Kamaludin)
ARTIKEL INI JUGA TAYANG DI :
Baca Selanjutnya: Warga kampung adat cireundeu melek teknologi tapi makanan pokok rasi masih diatur hukum adat