TRIBUNNEWS.COM, BENGKULU – "Saya mulai menyadari hubungan perempuan dan hutan adalah sangat erat. Apabila hutan rusak, perempuanlah yang terkena dampak yang sangat besar,” kata Rita Wati.
Perempuan Bengkulu ini adalah Ketua Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Maju Bersama Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu.
Ia menjadi satu di antara perempuan inspiratif pelopor desa penjaga dan penyelamat hutan tak jauh dari kawasan penyanggah hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Sebagian mengenal mereka sebagai masyarakat tepi hutan, yang secara kultur lokal didebut hutan larangan.
Tidaklah salah jika penyelamat hutan disematkan kepada Rita dan rekan-rekannya karena aktivitas mereka yang ikut terlibat dalam pelestarian hutan larangan yang berada tak jauh dari desa mereka.
Mulai dari keterlibatan KPPL dalam pencegahan pembukaan lahan baru di kawasan TNKS, hingga kampanye penghutanan kembali kebun kopi.
KPPL mengajak perempuan penggarap maupun bukan penggarap untuk menanami kebun kopi yang sudah telanjur dibuka, dengan tanaman pepohonan lainnya untuk menjaga ketahanan iklim.
"Saya dan teman-teman KPPL Maju Bersama tidak hanya berkegiatan terkait budidaya dan pemanfaatan kecombrang dan pakis di hutan TNKS,” kata Rita di Bengkulu Selasa (18/4/2023).
“Kami juga mengajak perempuan lainnya baik penggarap hutan TNKS maupun bukan penggarap untuk mengembangkan pola kebun campur di kebun kopi untuk menjaga ketahanan pangan, ketahanan air dan ketahanan iklim," jelasnya.
Perempuan berusia 54 tahun ini lahir di keluarga petani di Desa Pal VIII, Kabupaten Rejang Lebong pada 5 Januari 1969. Dari ibu bernama Ratna dan bapak bernama Sutisna.
Rita pun menceritakan latar belakang terbentuknya KPPL Maju Bersama.
Pengetahuan yang Rita miliki awalnya tentang hutan larangan sangat menakutkan. Selain tidak boleh digarap, pepohonan di hutan larangan juga tidak boleh ditebang.
Bahkan memungut ranting pepohonan yang sudah jautuh di tanah untuk kayu bakar saja tidak boleh.
Namun pandangan Rita berubah setelah mengikuti kegiatan di Kantor TNKS di Kota Curup pada akhir Mei 2017.
Saat itu dia hadir bersama Kepala Desa Pal VIII, dan juga ada perwakilan perempuan dari desa lainnya.
Mereka lalu saling berbagi cerita tentang perubahan kondisi hutan TNKS dan dampaknya terhadap perempuan.
"Saya mulai menyadari bahwa hubungan perempuan dan hutan adalah sangat erat. Apabila hutan rusak, perempuanlah yang terkena dampak yang sangat besar,” kata Rita.
“Baik terkait tubuh perempuan terutama organ tubuh yang terkait menstruasi, hamil, menyusui dan melahirkan. Peran perempuan di ranah rumah tangga (domestik) terkait pangan, air dan kesehatan, di ranah produktif dan komunitas," papar Rita.
Kerusakan hutan akan berdampak negatif terhadap ketersediaan pangan dan sumber pendapatan bagi perempuan dari hutan, dan juga akan berdampak negatif bagi kebun di luar hutan yang juga sumber pangan dan pendapatan bagi perempuan.
Kerusakan hutan bisa mengurangi ketersediaan air, menurunkan kesuburan tanah, meningkatkan hama dan penyakit tanamanan dan mengurangi jumlah hewan penyerbuk untuk tanaman di kebun.
"Saya juga mulai menyadari bahwa perempuan memiliki hak-hak terkait hutan dan lingkungan hidup. Menyadari arti penting kelestarian hutan bagi kehidupan, penghidupan dan pengetahuan perempuan," beber Rita.
Setelah dia menyadari akan hak-hak perempuan terkait hutan dan lingkungan hidup serta pentingnya kelestarian hutan bagi kehidupan, Rita menginisiasi komunitas baru.
Bersama perempuan-perempuan yang hadir mengikuti kegiatan di kantor TNKS bersepakat membentuk Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Maju Bersama, dan Rita dipercaya sebagai Ketua KPPL Maju Bersama.
Tidak hanya sebatas membentuk kelompok saja, namun Rita dan rekan-rekannya juga mulai memperjuangkan keinginan KPPL Maju Bersama untuk terlibat mengelola hutan TNKS dan memanfaatkan potensi di hutan TNKS.
Keinginan mereka ini pun direspon positif Balai Besar TNKS yang menawarkan kerjasama.
Pada 5 Maret 2019, KPPL Maju bersama menandatangani perjanjian kerjasama kemitraan konservasi antara KPPL Maju Bersama dan Balai Besar TNKS di Kota Bengkulu.
Dengan menandatangani perjanjian kerjasama, KPPL Maju Bersama menjadi kelompok perempuan desa pertama di Indonesia yang mendapatkan legalitas hak untuk mengelola kawasan hutan dan memanfaatkan hasil hutan.
"Hingga akhir tahun 2020, tercatat sudah 2.500 batang kecombrang yang ditanam di areal seluas 2, hektare. Budidaya kecombrang dilakukan tanpa menebang pepohonan atau ditanam di bawah tegakan pepohonan," ungkap Rita.
Selain itu, KPPL Maju Bersama juga merintis usaha ekonomi produktif dengan menggolah kecombrang menjadi minuman dan makanan, dan pakis menjadi makanan.(Tribunnews.com/TribunBengkulu/Yunike Caroline)
ARTIKEL INI JUGA TAYANG DI ;
Baca Selanjutnya: Sosok rita perempuan penyelamat hutan bengkulu hutan rusak perempuan terkena dampak paling besar