TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ormas nasionalis Komunitas Banteng Asli Nusantara (Kombatan) meminta masyarakat dan khususnya DPP PDI Perjuangan agar meningkatkan kewaspadaan jelang Pemilu 2024.
Terutama, adanya dugaan para oknum aparat yang cenderung menciderai demokrasi amanah konstitusi.
"Demi mencegah reaksi negatif rakyat kecewa hak-haknya berdemokrasi diciderai, kami ingatkan semua pihak harus lebih waspada, jangan sampai bersikap skeptis dan melakukan pembiaran potensi manipulasi suara rakyat," kata Ketua Umum DPN (Dewan Pimpinan Nasional) Kombatan, Budi Mulyawan kepada Tribun, Kamis (23/11/2024).
Pria yang akrab dipanggil Cepi ini menambahkan, pihaknya mencermati kepercayaan rakyat dalam Pemilu 2024 tidak hanya ternoda tindakan abai moral budi pekerti yang terang-terangan dipertontonkan.
Di mana, Anwar Usman diberhentikan tidak hormat sebagai Ketua MK, akibat terbukti pelanggaran etik berat.
"Namun, belakangan terindikasi adanya abai moral budi pekerti oknum-oknum aparat negara terkesan semakin ugal-ugalan dan tidak menghargai hak-hak demokrasi rakyat sebagaimana amanah konstitusi," tegas Cepi.
Cepi mengaku prihatin, adanya kegiatan nasional pengerahan aparat negara di level terbawah yang bersentuhan langsung dengan rakyat di desa-desa untuk berkumpul di Kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta pada Minggu kemarin.
Apalagi, pertemuan akbar aparat desa itu terindikasi jadi sasaran sosialisasi salah satu paslon capres-cawapres.
"Apa pun dalihnya, aparat desa se-Indonesia berkumpul dan bertemu dengan salah satu kandidat Cawapres, wajar rakyat bertanya-tanya. Jika biayanya sampai diambilkan dari APBN, dimana budi pekertinya, apa ini bukan ugal-ugalan", ungkap Cepi.
Kombatan, lanjut Cepi, mencermati di balik pengerahan berkumpul di Jakarta itu terdapat kecemasan di antara aparat desa, karena merasa seolah-olah ada tekanan bayang-bayang ancaman pidana terkait akuntabilitas penggunaan dana desa.
Kecemasan itu, semakin muncul lantaran di antara aparat desa itu mengaitkan dengan perolehan suara Pilpres 2024 di desa.
"Ini persoalan serius dan membahayakan. Ternyata, rasa was-was jeratan pidana penjara tidak hanya melanda kalangan elite, seperti yang sudah menimpa Johnny G Plate eks Menkominfo dipidana 15 tahun, dan Syahrul Yasin Limpo eks Menteri Pertanian, hingga terbaru Ketua KPK Firli Bahuri. Tapi, melanda di level desa," tutur Cepi.
Bahkan, kata Cepi, para pejabat di level desa itu mengalami was-was ancaman pidana penjara sejak Kejaksaan Agung tahun 2022 memberlakukan program Jaksa Jaga Desa atau Jaksa Masuk Desa.
Karena takut berefek penggunaan dana desa dikorek-korek pidana, tidak heran aparat desa berupaya Prabowo-Gibran di desanya tidak kalah.
"DPP PDI Perjuangan dan partai koalisi pendukung Paslon Ganjar-Mahfud harus memahami dinamika di level desa yang berhubungan langsung dengan elektoral," tegas Cepi.
Sementara Cepi mengingatkan serius agar tim pemenangan Pilpres Ganjar maupun Tim pemenangan Pileg PDI Perjuangan tidak lengah menghadapi berbagai pola 'hight strategy' yang sistematis, tersutruktur, dan masif dari pihak konstestan lawan.
"Jargon-jargon menjaga netralitas, sah saja. Tapi, nalar sehat harus tetap waspada. Peserta kontestasi ini anak presiden yang masih aktif, dan punya kekuasaan penuh mengendalikan hak-hak prerogratif sebagai kepala negara. Karena itu, Pemilu 2024 ini menjadi tantangan berat bagi Ganjar-Mahfud maupun PDI Perjuangan," tutur Cepi.
Cepi juga minta tim pemenangan Ganjar maupun PDI Perjuangan agar lebih waspada lagi tentang adanya peluang potensi digunakannnya strategi demokrasi Pemilu persepsi.
Kata Cepi, pola yang digunakan berpotensi sistematis, terstruktur dan masif dengan melibatkan lembaga survei komersial, media massa, kreator konten medsos, dan penyebaran baliho, spanduk, poster.
Baca juga: Aktivis Insiator JagaPemilu: Horornya Kecurangan Pemilu, Jika Pelakunya adalah Penyelenggara
"Hati-hati jika selama kurun kampanye tiga bulan ada gerakan secara masif dari lembaga survei maupun konten medsos dan pemberitaan media massa partisan," ungkap Cepi.