TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Permohonan pengunduran diri Jokowi sebagai Walikota Solo diminta dikaji ulang karena diduga melanggar sumpah jabatan dan peraturan perundang-undangan.
Beberapa pihak menilai Jokowi melanggar sumpah jabatan dalam Undang-undang.
Pengamat politik ibukota Amir Hamzah mengatakan, pengunduran diri Jokowi atas permintaan sendiri belum ada azas, peraturan, dan syarat yang mengaturnya.
Menurut dia, jika Jokowi ingin mengundurkan diri, maka harus berkaitan jabatan dan tugasnya di Solo, bukan di Jakarta.
Dikatakan Amir, aturan tentang pengunduran diri seorang kepala daerah sebenarnya sudah diatur dalam UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU nomor 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Dimana seorang kepala daerah dapat hengkang dari jabatannya melalui tiga faktor.
"Yang pertama, kepala daerah dinyatakan meninggal dunia. Kedua, kepala daerah melepaskan jabatan karena permintaannya sendiri, dan ketiga, kepala daerah sengaja diberhentikan dari jabatannya sebagai kepala daerah,” ujar Amir, Kamis (27/9/2012) di kawasan Kebon Sirih Jakarta Pusat.
Pengunduran diri Jokowi dari jabatannya sebagai kepala daerah, lanjut Amir, berbeda dengan pengunduran diri Prijanto sebagai Wagub DKI dan Dicky Chandra sebagai Wabup di Garut.
"Prijanto mundur dari jabatannya karena tidak ada kecocokan dengan gubernur. Wakil Bupati Garut pun sama, bahwa tidak ada kaitan dengan pilkada atau masalah internal. Tetapi Jokowi mengundurkan diri karena terpilih menjadi gubernur DKI. Ini tentu belum ada syaratnya," paparnya.
Amir juga menyatakan pihaknya akan melakukan tafsir hukum terkait peranan dan tugas kepala daerah sesuai dengan keputusan pemerintahan daerah yang disesuaikan dengan tugas dan wewenangnya.
Menurut dia, pilkada Jakarta tidak ada kaitannya dengan jabatan Jokowi di Solo dan akan aneh kalau ada alasan pemilukada bisa dipakai untuk mengajukan permohonan pengunduran diri di DPRD.