TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahok Center menuai kontroversi. Keberadaannya sebagai mitra Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam penyaluran corporate social responsibility (CSR) di rumah susun Marunda, Jakarta Utara, dinilai membantu. Namun, di sisi lain, dianggap bom waktu dan bisa menghancurkan empunya.
Kontroversi tersebut bermula saat wartawan mendapat sebundel kertas pers realease dari Badan Pengelolaan Keuangan Daerah Jakarta, Rabu, 14 Agustus 2013 lalu. Kertas itu berisi daftar perusahaan penyalur CSR di empat dinas, yakni Dinas Perumahan dan Bangunan, Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah dan Perdagangan, Dinas Kelautan dan Perikanan serta Dinas Pertamanan dan Pemakaman.
Di lembar daftar perusahaan penyalur CSR di Dinas Perumahan dan Bangunan ke rumah susun Marunda, tertera jelas bahwa mitra kerja penyaluran adalah Ahok Center. Faisal Basri, pengamat ekonomi sekaligus mantan rivalnya di Pemilukada DKI 2012 lalu mempertanyakan keberadaan Ahok Center yang dianggapnya rentan kepentingan politik.
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama langsung membantah. "Ahok Center enggak ada rekening bank dan tidak pernah terima duit. Itu hanya relawan yang mau bantu mengawasi siapa (penghuni) yang jual," ujarnya di Balaikota, Kamis (15/8/2013).
Usut punya usut, Ahok Center adalah nama beken dari sebuah LSM yang didirikan Ahok tahun 2007 lalu, yakni Center for Democracy and Transparancy atau CDT. Isinya, ya semua relawan pemenangan Ahok saat Pemilukada 2012. Mereka diketahui bermarkas di salah satu kantor di Jalan Juanda, Jakarta Pusat.
Bunyamin Permana, salah satu relawannya menjelaskan, mitra kerja yang dimaksud bukan sebagai penyalur CSR. Tapi, mengawasi barang-barang hasil CSR agar tak disalahgunakan warga, misalnya diperjualbelikan dan lainnya.
"Jadi kita hanya membantu. Kita ditugaskan Pak Ahok, yang awalnya menjadi relawan. Tapi akhirnya ya membantu masyarakat," ujarnya.
Natanael Oppusunggu, koordinator dan penanggungjawab CDT mengatakan, aktivitas mereka dibiayai kocek pribadi sang wagub, yakni sebesar Rp 30 juta per bulannya. Sebanyak tujuh orang anggotanya digaji sesuai dengan UMP, yakni Rp 2,2 juta per bulannya.
BPKD Klarifikasi
Kamis sore, Kepala BPKD Endang Wijayanti mengaku dipanggil Ahok terkait informasi tersebut. Endang menampik menjadi sasaran kemarahan sang Wagub karena menuliskan Ahok Center sebagai mitra kerja dalam penyaluran CSR. Endang juga sekaligus hendak mengklarifikasi informasi itu kepada media.
"Saya sudah telefon Pak Kian (Kian Kelana, Kepala Dinas Sosial DKI, dinas yang bertugas mencatatkan barang-barang hasil CSR di rusun Marunda) sudah konfirmasi tidak ada Ahok Center dalam penyaluran CSR," ujarnya.
Lantas, mengapa di laporan daftar perusahaan yang memberikan CSR dari Suku Dinas Sosial DKI kepada BPKD DKI, Ahok Center tertera sebagai mitra kerja? Ia pun tak mengetahuinya. Menurutnya, data bundelan kertas itu adalah data 'gelondongan' dari Dinas Sosial yang bisa saja terdapat kesalahan dan perlu verifikasi.
Kepala Suku Dinas Sosial Jakarta Utara, Ika Lestari Aji juga menampik keberadaan Ahok Center dalam penyaluran CSR. Menurutnya, hanya ada beberapa orang yang dikenalnya sebagai orang suruhan Ahok. Tak hanya orang suruhan Ahok, orang suruhan gubernur pun berada di sana membantu pengawasannya.
"Kan kasihan kalau Pak Ajok yang dibilang, kesannya Pak Ahok saja. Padahal orang-orangnya Pak Jokowi juga ada," ujarnya.
Pisau Bermata Dua
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagyo menilai, ada dua sisi efek keberadaan Ahok Center yang notabene 'underground' dalam membantu menjalankan roda pemerintahan Jakarta Baru tersebut. Di satu sisi sebagai 'intelejen' sang wagub dalam melihat kondisi ril di lapangan, dianggap sangat membantu Ahok.
"Kalau cuma nyatat-nyatat, enggak apa-apa. Dari awal mereka boleh saja jadi tim risetnya Ahok, beri data riil lapangan. Tim independen itu sama sekali ndak masalah," ujar Agus.
Namun di sisi lain, keberadaan Ahok Center rentan penyalahgunaan wewenang. Terlebih, Ahok Center merupakan produk politik Ahok. "Bisa juga Ahok Center memperlemah posisi Ahok. Bisa dipolitisir, dijebak melalui mereka. Apalagi bersentuhan dengan dana," tuturnya.
Ada baiknya, kata Agus, Ahok mengubah kesan politis di dalam nama Ahok Center ke kesan profesional. Misalnya, menamakan pusat studi atau tim riset dan lainnya. Ia juga menyarankan jangan hanya ada satu tim seperti itu. Harus ada tim yang disebar di berbagai bidang, sosial, ekonomi dan lainnya, agar kesan politis hilang.
"Kalau kondisinya seperti Ahok Center saat ini, rentan menjadi bumerang. Sebagai yang turut mendukung, jangan pakai nama itu, reputasi saya khawatirkan akan jadi buruk," ujarnya.
Fabian Januarius