Menurut Neta, pengakuan Gatot sebagai otak pembunuhan Holly, memang sangat mengejutkan. Bahkan sepintas pengakuan tersebut seolahsulit diterima akal sehat.
"Pertama, mengingat Gatot sebagai orang intelek, cerdas dan selalu bersikap rasional, sehingga sangat sulit dipahami bahwa Gatot bisa bersikap irasional untuk menyewa pembunuh bayaran," ujar Neta dalam siaran pers yang diterima Tribunnews.com, Kamis (17/10/2013).
Kedua, Neta melanjutkan, Gatot sebagai pejabat BPK yang bergaul di kalangan pejabat negara lainnya, terutama jenderal-jenderal polisi dan penegak hukum lainnya tentu lebih bisa menahan diri untuk melakukan pelanggaran hukum menghabisi istri sirinya dengan menggunakan pembunuh bayaran.
Ketiga, lanjutnya, sangat sulit untuk dipahami bahwa Gatot menyewa pembunuh bayaran membunuh istri sirinya tapi meninggalkan jejak yg gampang terlacak, yakni fotonya ada di kamar korban.
Namun, Neta mengakui, sikap emosional yang dipicu rasa tertekan dan stres tingkat tinggi terkadang gampang membuat seseorang menjadi irasional sehingga nekat melakukan hal-hal yang tidak masuk akal.
Neta mencontohkan kasus mutilasi yang beberapa kali terjadi di jakarta menjadi contoh dimana pelaku begitu tega membunuh orang yang dicintainya secara sadis.
"Dalam kasus Gatot sepertinya yang bersangkutan begitu tertekan dengan banyaknya tuntutan dari Holly," tuturnya.
Tuntutan-tuntutan tersebut menurutnya membuat Gatot menjadi sangat tertekan hingga menjadi irasional.
"Seolah kasus pembunuhan Holly rumit padahal sangat sederhana motifnya. Seolah kasus yang dialami Gatot sangat sederhana tapi menjadi begitu rumit baginya tatkala ia tertekan oleh tuntutan Holly.
Melihat latarbelakang seperti ini Neta menilai kasus pembunuhan Holly memang benar-benar dilatarbelakangi oleh asmara, cinta, sakit hati dan dendam yang membuat tersangka tertekan dan berubah menjadi irasional.
"Kondisi ini juga dipicu dan terakumulasi oleh kondisi tersangka yang kerap tertekan dan stres akibat kesibukan pekerjaannya sebagai auditor," tandasnya.