News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Denda Maksimal Diperluas ke Parkir Liar

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Parkir liar di sepanjang Jalan KH Hasyim Ashari, Cideng, Gambir, Jakarta Pusat, tepatnya di bawah flyover ITC Roxy Mas, masih menjamur, Senin (23/9/2013)

Laporan Wartawan Wartakotalive.com Ahmad Sabran

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Ditlantas Polda Metro Jaya, dan para penegak hukum telah bersepakat untuk menerapkan denda maksimal ke pelanggaran lain selain menerobos jalur Trans Jakarta.

Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta Udar Pristono mengatakan, setelah rapat koordinasi dilakukan bersama Pengadilan Tinggi DKI, dan lima Pengadilan Negeri, serta Kejaksaan Tinggi DKI dan lima Kejaksaan Negeri, disepakati bahwa penindakan dan denda maksimal akan diberlakukan untuk parkir liar, melawan arus, dan ngetem sembarangan.         

“Mereka tetap dijerat UU 22 Tahun 2009 pasal 287, karena mereka melanggar rambu, mereka akan dikenakan denda maksimal, kita sudah gelar rapat bersama tadi siang, dan para hakim juga sudah setuju,” ujar Pristono di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (22/11/2013).

Menurut Pristono, penerapan denda maksimal merupakan langkah pembelajaran bagi semua pihak. Pasalnya, selama ini pengendara, petugas Dishub, polisi, dan pengadilan masih banyak yang belum mengerti kegunaan sterilisasi jalur Trans Jakarta. Pristono mengatakan, sanksi denda maksimal diharapkan bisa menyelesaikan banyak masalah kemacetan akibat pelanggaran lalu lintas.

Pasalnya parkir liar, ngetem, dan lawan arus merupakan penyebab-penyebab kemacetan lalu lintas.
Efek jera dengan denda tinggi diyakini cukup efektif. Untuk parkir liar misalnya, setelah dicabut pentilnya, kendaraan juga ditilang dengan denda yang besar, dipastikan pemilik kendaraan pun akan jera.
”Pengadilan Negeri Jakarta Utara sudah melakukan denda tinggi, ada 250 kasus pelanggaran lalu lintas Jalur Transjakarta yang sudah divonis,” ujarnya.
Menurut Pristono, diskresi Polisi bisa dilakukan, namun bukan setiap saat terjadi kemacetan. Diskresi hanya untuk keadaan tertentu seperti ambulan dan kendaraan Pemadam Kebakaran. Pristono menjelaskan sterilisasi Busway terbukti meningkatkan ritase bus Trans Jakarta dalam sehari. Jika bus biasa beroperasi sampai 10 rit, saat ini bisa bertambah hingga 13 rit dalam sehari.

“Jumlah penumpang yang biasanya hanya 350.000 orang sehari juga meningkat menjadi hampir 400.000. Ini bukti bahwa sterilisasi cukup bermanfaat bagi Transjakarta, efeknya, waktu perjalanan lebih cepat, waktu tunggu bus berkurang meski belum signifikan, nanti ketika bus datang, efeknya akan sangat dirasakan,” jelasnya.

Direktur Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas mengatakan, berdasarkan hasil survei Instran pada 2010 ketika ada program sterilisasi jalur, kecepatan rata-rata Trans Jakarta meningkat sampai 25 persen. Lalu jumlah pengguna fasilitas park and ride di Ragunan meningkat.

”Memang penegakan hukum dengan denda maksimal itu bisa membuat jera, penegakan aturan tidak bisa hanya mengimbau-mengimbau, harus ada sanksi, saya kira bagus kalau diperluas ke pelanggaran lain,” tuturnya.

Pengamat Transportasi Universitas Indonesia (UI) Alvinsyah berpendapat, secara esensi kebijakan denda maksimal harus didukung, baik untuk Transjakarta maupun lainnya. Pasalnya selama ini penegak hukum nyaris mengabaikan aturan terhadap lalu lintas maupun aturan lainnya.

Makanya untuk di jalur busway ini harus benar-benar steril. Caranya dengan menindak tegas para pelanggar itu.

”Kebijakan seperti ini diharapkan tidak ada lagi pengendara sepeda motor maupun pengemudi berani sesuka hati melanggar aturan,” ujarnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini