Tribunnews.com, Jakarta -- Di antara tangisan korban luka, mereka menari bahagia. Tindakan tidak terpuji yang masih dipelihara.
Wati (39), warga Cicayur, Serpong, Tangerang Selatan, habis kesabarannya ketika anaknya, Dani (5), tidak berhenti menangis. Anak bungsunya itu tidak tahan panas dan lembabnya Stasiun Tanah Abang, Jakarta Selatan, Senin (9/12), sekitar pukul 12.30. Keringat dan air mata adu cepat keluar dari tubuh Dani.
Wati tak kuasa menahan tangis Dani. Ia masih lemas mendengar kabar perjalanan kereta rel listrik (KRL) jurusan Serpong-Tanah Abang dihentikan. Penyebabnya, KRL 1131 menabrak truk BBM di tengah pintu rel Pesanggrahan, Jakarta Selatan.
Duduk terkulai layu di atas tumpukan daster dan selimut yang baru dibeli di Tanah Abang, matanya memandang Dani lemas.
”Sebentar, ini keretanya mogok,” kata Wati lesu. Matanya memelas. Namun, Dani kecil belum mengerti arti tatapan itu. Ia masih menangis.
Tidak lama, seorang lelaki paruh baya mendekatinya. Ia menawarkan angkutan mobil. Menuju Cicayur, lelaki itu mantap menyebutkan Rp 400.000. Alasannya, lalu lintas macet dan Wati membawa banyak barang bawaan. Bukannya lega, kepala Wati justru tambah pening.
”Mahal amat. Biasanya Rp 100.000? Ini, kok, empat kali lipat,” kata Wati keheranan.
”Itu, kan, tarif biasa. Sekarang banyak yang butuh mobil gara-gara kereta enggak jalan,” kata lelaki itu enteng.
”Enggak, deh, Bang. Saya tunggu aja,” ujar Wati menggelengkan lemah kepalanya. Di sebelahnya, Dani menangis makin keras.
”Bang mau ke Parung Panjang? Saya butuh enam orang lagi. Udah ada tujuh orang siap berangkat,” ujar salah seorang sopir mobil omprengan yang biasa memangkal di depan Pasar Tanah Abang.
Sigit yang bosan menunggu di depan kantor Kepala Stasiun Tanah Abang bersama dua kawannya menanggapi tawaran itu.
”Berapa Bang?” tanya Sigit.
”Udah Rp 50.000 aja. Lumayan daripada nunggu lama,” ujar sopir itu.
”Enggak ada duit Bang?” katanya.
Sigit merasa tarif itu tidak masuk akal. Biasanya ia hanya mengeluarkan Rp 8.000 dari Tanah Abang menuju Serpong.
Tindakan sopir omprengan itu jelas bukan tindakan terpuji. Memanfaatkan kebingungan penumpang yang gagal berangkat, mereka coba meraup untung tak semestinya.
Namun, bukan hanya sopir omprengan di Tanah Abang yang memanfaatkan situasi sempit itu. Tukang ojek di sekitar lokasi kejadian kecelakaan ada juga yang tega menangguk untung.
Mamik (44), pedagang kain yang akan berangkat ke Tanah Abang yang ada di kereta ketiga atau keempat di KRL 1131, tidak berpikir panjang saat bertemu tukang ojek. ”Ongkos Rp 50.000, langsung saya bayar di muka, yang penting segera tiba di rumah,” ujarnya yang tinggal di kawasan BSD.
Kakinya terkilir karena nekat melompat dengan panik ketika berusaha keluar dari KRL untuk menyelamatkan diri. Begitu berhasil keluar dari kereta, Mamik segera menjauh dari KRL tersebut dan langsung mencari ojek untuk kembali. Ia pun tidak menawar lagi biaya yang diminta tukang ojek.
Pengojek di kawasan BSD juga ada yang memanfaatkan situasi itu. Mereka ada yang menarik ongkos Rp 100.000 untuk mengantarkan ke lokasi kejadian. Bahkan, ketika ada yang ingin minta diantar ke BSD dari lokasi kejadian, ongkos ojek naik lagi menjadi Rp 150.000.
”Kondisinya hujan dan tidak banyak ojek yang mau ke BSD,” ujar tukang ojek itu dengan tenang.
Merasa tidak ada pilihan lain, Dimas (28), warga BSD, ”sepakat” dan tidak bisa menolak tawaran itu. ”Yang penting saya bisa nyampe rumah,” ujarnya. (CHE/MAM)