TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- PT KAI membongkar lapak-lapak Pedagang Kaki Lima (PKL) dan menggusur pasar tumpah yang berada di sekitar Stasiun Duri, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, Senin (24/3/2014).
Setidaknya ada 160 lapak semi pernanen yang dihancurkan. Keberadaan bangunan liar di sekitar Stasiun Duri merupakan cerminan nyata dari ketidaksiapan kaum urban dalam menghadapi persaingan hidup di Jakarta.
Datang ke Jakarta dengan bekal tidak memadai; baik skill, pendidikan maupun dari segi permodalan, mereka akhirnya menimbulkan masalah baru bagi tata ruang kota.
Pa'atis (45), misalnya. Pendatang asal Rangkasbitung, Banten, ini terpaksa mendirikan bangunan semi permanen di tembok bagian dalam area Stasiun Duri. Alasannya, penghasilan Pa'atis sebagai penjual minuman tidak cukup untuk membayar uang kontrakan.
"Daripada buat bayar kontrakan, mending buat kirim ke keluarga di kampung," kata Pa'atis kepada Warta Kota di sela-sela penertiban bangunan liar oleh PT KAI.
Bangunan milik Pa'atis berukuran 3x4. Selain sebagai tempat tinggal, di bangunan itu ia juga membuka rental Playstasion (PS). Ada tiga set PS yang dimilikinya. "Pelanggannya lumayan, anak-anak komplek sini," katanya.
Padahal, untuk bisa sampai ke bangunan milik Pa'atis, anak-anak yang umumnya berasal dari perkampungan Kalianyar atau Jembatan Besi, harus masuk melalui lubang di tembok pembatas, kemudian berjalan menyusuri rel KA beberapa puluh meter.
Pa'atis sebetulnya sadar apa yang dia lakukan salah. Tetapi dia tidak punya pilihan lain. Sementara, keluarganya di kampung menaruh harapan besar kepadanya. Rasati (53), pendatang asal Pekalongan, Jawa Tengah sudah puluhan tahun menjadi pedagang di pasar tumpah di area Stasiun Duri.
Ia pun terpaksa berjualan di tepi jalan perkampungan setelah lokasi berjualannya di bantaran rel ditertibkan oleh petugas KAI. "Biasanya setiap hari jualannya ya di dalem (area stasiun)," katanya.
Menurutnya, lokasi pasar tumpah di area stasiun sudah dikenal oleh masyarakat luas. "Terkenal karena murah. Orang-orang kaya juga lebih milih belanja di pasar tumpah daripada ke pasar lain," katanya.
Ia pun tidak tahu harus berjualan di mana jika pasar tumpah itu dimatikan secara permanen. "Di perantauan nyari uang seperak saja susah, sudah gitu digusur sana-sini. Saya mau cari tempat lain tapi pasti sewanya mahal, sedangkan modal saya dikitn" kata Rasati yang setiap hari berjualan tahu dan tempe. (Feryanto Hadi)