Laporan Wartawan Tribunnews.com, Achmad Rafiq
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa kasus kekerasan seksual di Jakarta Internasional School (JIS), Virgiawan alias Awan disidangkan sore tadi setelah Afrischa alias Icha.
Sidang yang dilaksanaan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (10/9/2014), beragendakan tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap eksepsi atau nota keberatan terdakwa.
"Jaksa penuntut umum tetap pada dakwaannya, dengan alasan karena sudah memasuki materi pokok perkara," ujar kuasa hukum Virgiawan dan Agun Iskandar, Patra M Zen kepada wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (10/9/2014).
Lanjut Patra, pihaknya mengaku pernyataan JPU dinilai baik. Dimana mereka (Jaksa penuntut umum) juga mengingkan kebenaran terungkap pada kasus ini.
"Jika di dalam persidangan baik majelis hakim, penuntut umum, maupun tim penasihat hukum memilik tujuan sama, semoga sidang ini memang benar-benar dapat mengungkapkan kebenaran yang sebenar-benarnya," ungkap Patra.
Sementara itu, terdakwa Afrischa alias Icha dengan sidang terpisah dengan empat terdakwa lainnya, beragendakan putusan sela. Namun majelis hakim menyetujui penolakan JPU terhadap eksepsi terdakwa.
"Alasan hakim menolak karena dakwaan kami tidak dilengkapi laporan sosial dari pekerjaan sosial," kata kuasa hukum Icha, Isdawati A Prihadi kepada wartawan dilokasi yang sama.
Pada Rabu sebelumnya, (3/9/2014), kelima terdakwa tersebut menjalani persidangan pembacaan eksepsi. Ada beberapa poin eksepsi atau nota keberatan yang disampaikan terdakwa.
Poin dari eksepsi atau nota keberatan mereka ialah keberatan karena terdakwa tidak didampingi penasehat hukum, mulai dari penahanan hingga penyidikan. Atas dasar tersebut, kuasa hukum terdakwa menyatakan berita acara pemeriksaan (BAP) yang dibuat penyidik melanggar prinsip "Miranda Rule" dalam Pasal 56 ayat 1 KUHP.
Dalam pasal tersebut, tertera terdakwa harus didampingi penasihat hukum agar BAP dan dakwaan dapat diterima di persidangan. Mereka juga menuliskan keberatan bahwa terdakwa menandatangani berita acara di bawah tekanan, ancaman, intimidasi, dan paksaan.
Terdakwa dikenakan Pasal 82 Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dengan ancaman hukuman penjara maksimal selama 15 tahun.