TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keberadaan LSD (Lysergic Acid Diethylamide), sebagai narkotika yang mematikan, sudah terdapat sejak tahun 1947.
Sementara, di Indonesia sendiri, narkotika yang efeknya membuat pemakai berhalusinasi tersebut, peredarannya sudah terjadi sejak tahun 1990.
Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Humas Badan Narkotika Nasional (BNN), Sumirat Dwiyanto, saat ditemui di Kantornya, Jalan MT Haryono, Kramatjati, Jakarta Timur, Kamis (22/1/2015). Menurut Sumirat, efek yang terjadi saat mengonsumsi LSD, sangat memungkinkan apa yang terjadi oleh Christoper Daniel Sjarif (23), yang menewaskan empat orang, di Arteri Pondok Indah. Pasalnya, efek halusinasi yang ditimbulkan sangat tinggi.
"Efek dari konsumi LSD ini, mengakibatkan orang berhalusinasi. Yang secara umum, disoerientasi ruang dan waktu, dan mispersepsi panca-indra. Bahkan, bisa juga berhalusinasi melihat mata kucing, justru seperti melihat harimau," kata Sumirat.
Seperti, tidak bisa bedakan pagi, siang, dan sore, lalu tidak bisa bedakan jauh dekat. Selain itu, juga mengakibatkan percepatan proses denyut jantung dan dapat timbul tekanan darah.
"Kalau denyut jantung kencang pasti keram jantung dan pecahnya pembuluh darah, serta sebagainya. Karena itu, paranoid bisa sampai mengakibatkan kematian juga," kata Sumirat.
Reaksi dari efek LSD itu sendiri, akan muncul selama kurang lebih 30 hingga 60 menit setelah konsumsi. Sementara, lama efek yang dialami pengguna, yaitu berhalusinasi, mencapai 8 hingga 10 jam.
Kalangan atas
LSD sendiri, menurut Sumirat, mulai ditemukan sekira tahun 1947 di negara Eropa. Namun, kala itu, LSD merupakan bahan pengobatan.
"Dahulu digunakan oleh psikiater untuk pasiennya. Lalu lambat laun, berkembang justru disalahgunakan oleh orang-orang yang mencari fantasi karena sifatnya menghasilkan halusinogen atau halusinasi," kata Sumirat.
Di Indonesia, menurut Sumirat, mulai masuk sekitar tahun 1990. Namun, hingga kini penggunanya tidak sebanyak jenis narkotika lainnya.
"Di seluruh dunia ada 354 jenis narkoba, tapi di Indonesia sendiri baru 35 jenis yang masuk. Untuk LSD tidak penggunanya tidak sebanyak jenis lain. Karena tiga jenis narkotika terbanyak penggunanya di Indonesia, yaitu ganja, sabu, dan ektasi. Laporan pengungkapan kasus LSD juga tidak setiap tahunnya kami temukan," kata Sumirat.
LSD, lanjut Sumirat, umumnya berbentuk kertas. Ukurannya setebal kertas map. Dengan lebar kurang lebih 0,5 cm x 0,5 cm sampai 1 cm x 1 cm.
"Tahun 2013 lalu, pernah kami tangkap seseorang yang membawa LSD di Bandara Soekarno-Hatta dari Hongkong, sementara barangnya sendiri dari belanda," kata Sumirat.
LSD tersebut, berukuran 20 cm x 20 cm dengan jumlah 40 lembar. Dengan masing-masing lembaran, memiliki ukuran LSD 0,5 cm x 0,5 cm. Sehingga, memiliki sebanyak 1.600 keping LSD.
"Harga jualnya berkisar Rp 200.000 hingga Rp 300.000. Di Jakarta sendiri, biasanya pengguna untuk kalangan atas, karena harganya yang tinggi tersebut. Namun, sudah mulai masuk ke tempat hiburan dan kampus," kata Sumirat.
Modifikasi LSD
Menurut Sumirat, LSD sudah masuk dalam UU Narkotika No 35 Tahun 2009 lampiran No 36. Namun, LSD sendiri, saat ini juga sudah beredar versi modifikasinya.
"Kemarin kami pernah mengungkap, penyelundupan impor 100 lembaran kertas yang kami duga LSD. Saat kami periksa barang bukti, kandungannya sudah berupa 25 NBOME-BB. Artinya sudah bukan LSD, tapi sudah dikembangkan jadi 25 NBOME-B. Ini turunannya dan modifikasi dari LSD. Tapi sudah kami masukkan dalam UU," kata Sumirat.
Pernah lanjutnya, penggunanya, mengakibatkan pingsan hingga 10 hari, akibat konsumsi 25 NBOME-B tersebut. Namun, LSD maupun 25 NBOME-B, lanjut Sumirat, tetap terdeteksi ketika diperiksa menggunakan X-Ray. Meskipun, secara kasat mata, gambar LSD yang umumnya berupa tokoh kartun anak-anak, tetap bisa dicurigai.
"Modus mereka, gambar pada lembaran kertas menggunakan tokoh kartun seperti Mickey Mouse, Donald Bebek, Alice in Wonderland. Ini untuk mengelabui petugas, bahwa kertas itu, merupakan kertas mainan yang digunakan untuk anak-anak," kata Sumirat.
Penulis: Mohamad Yusuf