TRIBUNNEWS.COM -Di tengah kemajuan kota Jakarta, aktivitas belajar-mengajar di beberapa sekolah terhambat karena gedung sekolah mangkrak.
Bangunan sekolah hanya berupa kerangka tanpa dinding dan atap pelindung. Kondisi itu menyiksa pelajar dan guru karena mereka terpaksa menumpang belajar di sekolah lain.
Joshua Aditya (16), pelajar SMA Negeri 55 Pancoran, terlihat tidak nyaman duduk di bangku kayu kecil di ruang kelas IV SD Negeri 01 dan 03 Pengadegan, Jakarta Selatan. Dia duduk bersisian dengan temannya, Ardya Davio (16).
Meja kayu yang digunakan siswa kelas X itu berukuran kecil. Joshua hanya bisa meletakkan sebuah buku dan beberapa alat tulis di atas meja. ”Ruang kelas ini kecil. Meja dan kursi juga kecil. Saya tak leluasa bergerak,” katanya, Senin (23/2).
Menurut Joshua, menumpang belajar di gedung SD jelas tidak nyaman karena sarana dan prasarananya tidak sesuai dengan kebutuhannya sebagai siswa SMA. Di gedung SD itu, misalnya, tak ada ruang laboratorium dan ruang kegiatan ekstrakurikuler.
Joshua juga mengeluhkan waktu belajar yang dimulai siang hari setelah murid-murid SD pulang. Joshua yang terbiasa bangun pagi harus menunggu waktu sekolah yang baru dimulai pukul 13.00. ”Sekolah siang tidak enak karena cepat capek,” kata Ardya.
Sejak Juni 2014, Joshua, Ardya, dan ratusan pelajar lain di SMA Negeri 55 terpaksa menumpang di SD Negeri 01 dan 03 Pengadegan. Sebab, bangunan SMA Negeri 55 yang terletak di Jalan Minyak Raya, Duren Tiga, Jakarta Selatan, belum selesai direnovasi.
Bangunan itu masih berupa kerangka tanpa dinding dan atap pelindung. Daun pintu, kusen jendela, dan pegangan tangga belum terpasang. Di sekitar halaman sekolah tumbuh rumput, semak belukar, dan tanaman liar. Nidaa Asa’adah, guru Matematika SMA itu, menjelaskan, sejak menumpang belajar di SD, muridnya jadi sulit konsentrasi. Kegiatan belajar-mengajar juga hanya bisa dilaksanakan 30-40 menit untuk satu jam pelajaran. Padahal, idealnya satu jam belajar 45 menit.
Kepala SMA Negeri 55 Kartono menjelaskan, pembangunan gedung sekolah dimulai sejak Juni 2013. Setelah berjalan sekitar enam bulan, pembangunannya terhenti karena dana dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terputus.
Lebih jauh
Hari Senin tepat pukul 15.00, Nur Salis (40) sigap mengambil sepeda begitu melihat putrinya, Putri (8), keluar dari gerbang SMP Negeri 136 Koja, Jakarta Utara. Perjalanan lebih dari 2 kilometer siap ditempuh ibu rumah tangga itu dengan sepeda merahnya.
”Sejak sekolah anak saya pindah, perjalanan menjadi tambah jauh sekitar 1 kilometer. Kasihan juga anak-anak kalau tidak ada yang jemput, sementara kalau naik ojek biaya tambah mahal,” kata warga Rawa Sengon, Kelapa Gading, ini.
Putri dan 468 murid SD Negeri 11 Pagi Rawa Badak Selatan bersama 450 murid SD Negeri 12 Petang Rawa Badak Selatan, yang dulunya berada dalam satu lingkungan sekolah, harus pindah ke gedung SMP Negeri 136 sejak Juli 2013. Saat itu, sekolah mereka akan dibangun ulang menjadi sekolah berlantai empat. Namun, pembangunan sekolah terhenti pada awal 2014.
Sekolah Putri saat ini hanya berupa tiang-tiang dengan besi yang mencuat ke sana-sini. Sejumlah tiang bahkan terlihat patah atau roboh karena pembangunan yang tidak selesai.
Selama menumpang di SMP Negeri 136, barang-barang sekolah yang tak mungkin ikut dipindahkan dititipkan di rumah guru dan sebuah bangunan yang disewa sekolah. Tidak hanya itu, karena keterbatasan ruangan, aktivitas guru-guru SD ini dilakukan di lobi gedung sekolah yang mereka tumpangi. Rapat- rapat, bahkan akreditasi guru, dilakukan di situ.