Tribunnews.com - Jarum jam masih menunjukkan pukul 03.00. Namun, puluhan mobil bak terbuka yang mengangkut bongkahan-bongkahan batu sudah berderet rapi di sekitar Jakarta Gems Center, Rawa Bening, Jakarta Timur. Mobil-mobil itu milik para pedagang batu akik yang datang dari berbagai daerah di luar Jakarta.
Sabtu (18/4/2015) dini hari itu, kawasan Pasar Rawa Bening, yang termasyhur sebagai pasar batu akik, masih sepi. Beberapa pedagang terlihat masih tertidur pulas di emperan toko, di atas meja pedagang kaki lima (PKL), bahkan di atas batu dagangan mereka yang dilapisi terpal. Tak ada kebisingan dan kesemrawutan yang identik dengan kawasan itu pada siang hari.
Beberapa pedagang yang sudah bangun terlihat berbincang sambil menyeruput kopi dan menikmati camilan. Mereka duduk di atas meja PKL sambil menunggu pembeli datang.
Gelombang tren batu akik akhir-akhir ini telah mengumpulkan para pedagang dari berbagai daerah itu Rawa Bening.
”Kami sudah seperti saudara. Sudah enam bulan kami menjalani hidup seperti ini sebagai pedagang batu. Mungkin kalau tidak jadi pedagang batu kami tak akan saling kenal,” ujar Fifing (57), pedagang asal Sukabumi, Jawa Barat.
Dia mengatakan, pedagang batu akik di Rawa Bening berasal dari berbagai daerah, seperti Aceh, Bengkulu, Lampung, Palembang, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan hingga Sulawesi.
Fifing awalnya bekerja sebagai buruh tani di Sukabumi. Namun, dia tertarik ganti profesi setelah melihat temannya yang sukses menjadi penjual batu akik. Apalagi, keuntungan yang didapat jauh lebih menggiurkan.
Lebih dari cukup
Saat menjadi buruh tani, pendapatan Fifing tidak tetap karena tergantung kepada orang yang memakai jasanya. Namun, saat ini dia bisa membawa pulang uang Rp 400.000- Rp 600.000 per hari. Itu dianggap lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan istri dan enam anaknya.
Fifing mengaku memperoleh batu dagangannya dari beberapa warga di daerah asalnya. ”Saya biasanya membeli dari tengkulak. Tengkulak itu mendapatkan batu dari petani yang mencari batu keluar masuk hutan,” ujarnya.
Dia menjual berbagai jenis batu akik, seperti kecubung, pancawarna, dan lavender. Harga normal batu-batu ini antara Rp 250.000-Rp 350.000 per kilogram.
Butuh 2-3 hari bagi para pedagang ini untuk menjual habis dagangannya di Rawa Bening. Saat dagangan habis, mereka pulang ke daerah asal masing-masing untuk kembali mengumpulkan persediaan.
Dengan penghasilan sebesar itu, para pedagang ini sebenarnya mampu menyewa penginapan. Namun, mereka justru memilih tidur di tempat seadanya.
”Kalau tidur di hotel tak bisa kumpul ramai-ramai seperti ini. Lagipula, kami harus menjaga barang dagangan masing-masing. Jadi, tidak boleh jauh-jauh dari mobil,” ujar Fifing.
Herman (42), pedagang asal Pandeglang, Banten, mengatakan, butuh waktu 6-7 jam dari rumahnya untuk sampai ke Rawa Bening. Ia sadar kesehatannya bisa terancam karena sering terkena angin malam saat tidur di emper toko atau di mobilnya.
Bahkan, saat ini terbukti kematian pun bisa mengincar mereka, seperti yang terjadi pada keluarga penjual batu akik asal Bengkulu. Ayah, ibu, dan anak itu ditemukan tewas di dalam mobilnya yang diparkir di dekat Rawa Bening, Jumat lalu.
Namun, Herman mengaku merasa nyaman menjalani semuanya demi menghidupi istri dan ketiga anaknya.
”Hidup kami memang tidak enak-enak amat. Tetapi, kami mempunyai banyak kenalan sejak jadi pedagang batu,” ujarnya. Dia tak pernah menganggap pedagang batu lain sebagai rival. Menurut dia, pedagang batu justru bisa bekerja sama.
Sementara Andi Wahyu Saputro (37) pedagang asal Blitar, Jawa Timur, mengatakan, menjual batu tak hanya bicara soal harga. Menurut dia, komunikasi antara penjual dan pembeli bisa sangat menentukan.
”Saya pernah melepas batu pancawarna Nusakambangan kepada pembeli secara gratis. Padahal, harganya sekitar Rp 500.000,” ujarnya.
Sekitar pukul 04.00, pembeli mulai datang ke mobil-mobil para pedagang ini. Pembeli yang datang di waktu subuh seperti itu biasanya para pedagang eceran.
Salah satu pembeli yang datang pagi itu adalah Trisno (49) pengecer asal Tangerang. Dia sengaja datang subuh-subuh karena harus kembali menjual batu akik itu di daerah asalnya.
”Saya, kan, harus jualan lagi, jadi harus datang subuh. Lagipula kalau subuh, jumlah barang dan pilihannya masih banyak,” ujarnya.
Pagi pun beranjak siang di Rawa Bening. Aktivitas kembali riuh di pasar tersebut. Dan demam batu akik pun berlanjut... (B07)