TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- ECPAT Indonesia, jaringan global organisasi non pemerintah yang fokus mengurangi praktik eksploitasi seksual komersial anak, menggelar konferensi pers di Bakoel Koffie Cikini, Rabu (29/4/2015) siang.
ECPAT Indonesia merekomendasikan perlunya diterbitkan aturan hukum yang dapat mengkriminalisasi para pengguna jasa seks anak. Selama ini, para predator seks anak itu bebas melenggang karena tidak dapat dipidana.
“Dalam berbagai penggerebekan kasus prostitusi anak, yang ditangkap hanya para germo atau mucikari saja. Seharusnya, penggunanya juga ditangkap. Setelah itu, melalui penetapan pengadilan, nama-nama para predator seks anak itu diumumkan di media massa untuk memberi efek jera dan peringatan bagi pembeli seks anak lainnya.” ungkap Ahmad Sofian, Koordinator Nasional ECPAT Indonesia di dalam konferensi pers tersebut.
Selain memproses para pelaku seks anak secara hukum, ECPAT Indonesia juga mengusulkan pemberian sanksi administratif kepada pengelola apartemen atau hotel yang terbukti memfasilitasi berlangsungnya transaksi jual-beli seks anak.
“Sanksi administratif itu harus diumumkan kepada publik sebagai bagian tanggung jawab sosial mereka karena eksploitasi seksual anak terjadi di lingkungan mereka,” imbuh Sofian.
ECPAT memberikan pernyataan sikap, praktik prostitusi anak di Indonesia sangat memprihatinkan seiring pemamfaatan internet dan teknologi komunikasi.
Di internet, komunikasi dan transaksi berlangsung melalui media sosial seperti facebook, twitter, dan lain-lain. Selain melalui media tersebut, menurut Sofian, media lain yang digunakan untuk mempermudah transaksi adalah melalui laman, blog, dan layanan perpesanan instan seperti pesan singkat, Blackberry Messenger (BBM), Whatsapp, dan juga LINE.
Para pelaku menurut Sofian umumnya adalah germo/mucikari yang menjual-belikan anak dan sesama anak.
Tidak hanya itu, berdasarkan data yang dikumpulkan melalui wawancara dengan 14 anak yang menjadi korban eksploitasi seksual online, ditemukan adanya sindikasi yang mengeruk keuntungan material dengan mengelola website yang menampilkan foto-foto anak yang mengandung konten seks diperjualbelikan di dalam hingga keluar negeri.
Data ECPAT Indonesia, sedikitnya ada 2,5 juta email yang mengandung konten pornografi yang didistribusikan melalui dunia maya.
Merujuk data National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) ditemukan sebanyak 18.747 pornografi online pada anak yang berlangsung tahun 2012 di Indonesia. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terbesar di dunia yang mengakses konten pornografi di dunia maya.
Untuk memerangi transaksi jual beli seks anak secara online, hingga 2013, NAWALA telah berhasil menutup sebanyak 647 website pornografi di dunia.
Berdasarkan data PBB di bidang kekerasan anak, tercatat sekitar 150 juta anak perempuan dan 73 juta anak laki-laki mengalami pemerkosaan maupun kekerasan seksual setiap tahunnya termasuk anak-anak yang mrnjadi objek seks komersial.
Melihat potensi bahaya yang bisa ditimbulkan, ECPAT Indonesia mendorong agar pemerintah membuat undang-undang tentang prostitusi anak.
"Pasalnya, melalui undang-undang perlindungan anak, para pembeli (pengguna jasa seks anak) belum bisa dijerat. Sementara itu, ketika dihadapkan dengan proses hukum anak juga tidak mau mengaku. Sehingga diperlukan undang-undang yang bisa menjerat para pembeli seks anak," ujarnya. (Agustin Setyo Wardani)