TRIBUNNEWS.COM, DEPOK - Walau sudah berumur 21 tahun, Dzulfikar Akbar Cordova atau yang akrab dipanggil Dodo belum mengantongi Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Selama ini semua kegiatan yang ia lakukan tidak memerlukan lembaran tanda pengenal tersebut, mulai dari menuntaskan pendidikan SMA hingga mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
(Baca Juga: Lama Putus Sekolah, Seorang Pengamen Lulus SNMPTN di Universitas Indonesia)
Namun kini persoalan KTP itu membuatnya pusing. Dodo dinyatakan lulus SNMPTN dan diterima di Program Studi Ilmu Ekonomi Islam, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia (UI). Untuk mengurus keringanan pembayaran uang kuliah, ia diminta untuk menyerahkan sejumlah berkas, salah satunya adalah KTP. Pekan ini urusan berkas tersebut harus ia selesaikan, atau ia terpaksa membayar jutaan rupiah.
Dodo yang sehari-hari berprofesi sebagai pengamen jalanan itu, mengaku tidak sanggup bila harus membayar uang kuliah hingga Rp 5 juta. Ditemui Tribunnews.com di tempat ia biasa mengamen di Jalan Margonda, Depok, Jawa Barat, Dodo mengaku sempat rajin mengamen setelah memutuskan ikut SNMPTN, namun tetap saja uang yang terkumpul tidak cukup.
Saat ditanya soal mengapa ia belum mengantongi KTP, ia sempat mengaku bingung untuk menjawab. Ia akhirnya menjawab dengan menceritakan kisah hidupnya.
Dodo lahir di Banyuwangi, Jawa Timur pada 1994 lalu, dari keluarga berada. Ia sempat tinggal di Malang, dan mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) di Trenggalek hingga kelas 6 SD. Ayahnya adalah karyawan Bank plat merah. Hidup Dodo mulai berubah setelah kedua orangtuanya bercerai.
Ayahnya memutuskan untuk mengambil pensiun dini. Pada 2006 ayahnya pindah ke Bandung untuk bekerja di sebuah perusahaan swasta, dengan membawa Dodo dan adik laki-lakinya, Ika yang masih berumur 6 tahun. Namun di kota kembang itu nasib ayahnya tidak begitu beruntung.
"Bapak saya nggak lama kerja, terus usaha sendiri," katanya.
Karena kondisi ekonomi, ketiganya mulai hidup nomaden, dengan hanya membawa pakaian secukupnya, dan sebuah gitar milik ayah Dodo. Ketiganya hidup dari musala ke mushala. Dodo dan adiknya tidak melanjutkan sekolah. Untuk meringankan beban sang ayah, ia akhirnya memberanikan diri untuk mengamen.
"Mulai mengamen ya disitu, di Bandung, di sebelah mananya saya lupa," ujar Dodo.
Nasib keluarganya mulai membaik saat sang ayah menemui seseorang yang mau memberikan pekerjaan. Ayah Dodo ditawari pekerjaan di Lampung. Mereka bertiga pun hijrah ke Lampung pada tahun 2008. Mereka akhirnya mengontrak, Dodo pun melanjutkan sekolahnya hingga lulus SMP.
Pada 2012, hubungan baik ayah Dodo dan perusahaan yang mempekerjakannya tidak berlanjut. Sang ayah kemudian mengadu nasib ke kota Padang, Sumatera Barat, dengan membawa kedua anak laki-lakinya itu. Di kota tersebut Dodo ikut membantu keuangan keluarga dengan bekerja serabutan, mulai dari berdagang kue, hingga menjadi kuli bangunan.
"Saya sempat jadi kuli bangunan di Padang, waktu itu bayarannya lumayan, Rp 100 ribu per hari," kata Dodo.
Lagi-lagi nasib membawa keluarga tersebut hijrah. Dari kota Padang mereka lalu pindah ke Bogor, Jawa Barat pada 2014. Di kota itu Dodo kembali mengamen. Di kota itu ia sempat membaca artikel soal sekolah Master pada sebuah koran bekas. Dari tulisan itu ia mengetahui, bahwa ia masih bisa melanjutkan pendidikannya.
Ia kemudian meminta sang ayah untuk mengantarnya ke sekolah yang lokasinya bersebelahan dengan terminal Depok itu. Di tahun 2014 ia mulai melanjutkan sekolahnya, langsung ke kelas 3 SMA, walau sebelumnya ia belum pernah mengenyam pendidikan tingkat atas.
"Setahu saya boleh, ada peraturan yang baru, jadi bisa langsung kelas tiga SMA," ujar Dodo.
Di sekolah tersebut akhirnya Dodo mengikuti program Master Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia. Dari sekitar 40 siswa yang mengikuti seleksi, ia lolos menjadi salah satu siswa SMA Master yang berhak mengikuti program tersebut. Setelah mengikuti program tersebut selama sekitar 7 bulan, ia akhirnya bisa lolos SNMPTN 2015.