TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengesahan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) DKI Jakarta 2016 telat.
Demikian pula proses perencanaanya kacau dan pembahasan tidak transparan.
Demikian kata Direktur Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Apung Widadi.
Apung mengkritisi belum dilakukannya kesepakatan antara Kepala Daerah dan DPRD DKI Jakarta atas Rancangan Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS).
Kesepakatan KUA-PPAS seharusnya dilakukan pada akhir bulan Juli. Jadwal DPRD DKI Jakarta kesepakatan dilakukan 21 November. Kenyataannya, hingga Minggu (29/11/2015) kesepakatan belum dilakukan.
Telatnya kesepakatan, ujar Apung, akan berdampak buruk pada pembangunan daerah dan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, terkait kuantitas anggaran Jakarta yang mengecil.
"Dan kualitas pelayanan publik yang menurun. Dampak selanjutnya, mau tidak mau penyerapan anggaran pada tahun depan (2016) rendah," ujar Apung di Kantor Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, Minggu (29/11/2015).
Pada saat pembahasan anggaran seharusnya masyarakat turut berpartisipasi untuk memantau kinerja pihak eksekutif dan legislatif di DKI Jakarta.
"Sidangnya harus terbuka. Karena komisi di DPRD seolah-olah tidak bekerja. Masyarakat hanya diwakili Badan Anggaran, padahal komisi juga perwakilan masyarakat," imbuhnya.
Apung memprediksi penyerapan anggaran DKI 2016 tidak akan jauh berbeda. Yang memalukan, DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Indonesia, daya serap anggarannya sama rendahnya dengan Kalimantan Utara yang notabenenya adalah Provinsi baru.
Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri merilis data penyerapan anggaran dari seluruh provinsi tertanggal 20 November 2015. Diketahui angka realisasi APBD Provinsi DKI Jakarta ada di peringkat dua terbawah, yakni sebesar 35 %, hanya terpaut dari Provinsi Kalimantan Utara yang mencapai 28 %.