TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peristiwa Pos Polisi Thamrin, 14 Januari 2016 lalu sempat mengguncang dunia! Hampir semua media asing intensif memberitakan insiden di kawasan yang sering dikategorikan sebagai Ring Satu itu.
Dari CNN International, ABC News, BBC World, Xinhua, semua live report, ditambah dengan portal news yang real time news up date.
Tetapi, tak lebih dari 2x24 jam, berita-berita terorisme itu mulai meredup. Kalau masih ada running news, tidak sampai membuat paranoid orang yang hendak traveling ke Jakarta dan Indonesia.
"H+3 suasana betul-betul sudah kembali normal, seperti tidak terjadi apa-apa lagi. Bahkan pos polisi itu sudah ditutup dengan tulisan #IndonesiaBerani #IndonesiaDamai di atas bahan vinil merah putih," jelas Menpar Arief Yahya yang sore 18 Januari 2016 sempat melintas di sana.
Padahal insiden yang dibungkus dengan isu teror, apalagi ada embel-embel bom, lalu disiarkan dengan gencar melalui berbagai channel, itu "daya rusak"-nya sangat tinggi.
Apalagi terus menerus menjadi bahan trending topic di twitter dan bahan obrolan di Facebook. Para pelaku bisnis pariwisata sudah tepuk jidat, isyarat bakal paceklik datang.
"Tapi rupanya itu semua tidak terjadi! Badai cepat berlalu, jika tertangani dengan cepat dan tepat," sebut Arief Yahya, yang turut nongkrong bersama tim Crisis Center Kemenpar itu.
Lalu apa rumusnya? Suasana krisis itu, --entah disebabkan oleh alam (nature), sosial (orang) atau teknologi-- menurut Arief Yahya ada tiga hal yang harus diantisipasi. Pertama ada langkah Emergency (E) atau istilah umumnya darurat, lalu Urgency (U) atau sifatnya mendesak, harus disegerakan, dan Contingency (C) atau tanggap.
Di Kemenpar, dia mengkombinasi dari berbagai sumber penanganan crisis, terutama di sektor pariwisata.
"Ada tiga tahapan tim crisis center bergerak. Pertama, tahap Emergensi. Kedua, tahap Rehabilitasi. Ketiga, tahap Normalisasi," jelas Doktor Ekonomi lulusan Unpad Bandung itu.
Apa yang dilakukan di tahap Emergency?
"Emergency itu dimulai persis ketika kejadian itu berlangsung, 14 Januari. Hingga 16 Februari masa tanggap darurat itu berlangsung. Ada tiga level lagi khusus untuk tanggap darurat itu. Pertama immediate respons, atau merespons dengan cepat. Seperti asessment on impact, apa penyebab krisis, kontak emergency respons team, bisa polisi atau lembaga yabg terkait, lalu inmediate media respons," jelas Arief Yahya.
Memberikan keterangan pers, masuk dalam poin ketiga dari immediate reapons ini. Press conference itu penting untuk menjelaskan kepada publik, pelaku bisnis dan industri yang berada di dalam koordinasinya, untuk memberi koridor dan arah. Ada pegangan yang bisa dipercaya publik dan kredibel untuk memberikan penjelasan resmi.
Mengapa itu mendesak? Keterangan cepat itu akan menenangkan publik, sehingga mereka bisa memutuskan sesuatu untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
"Dalam kasus Thamrin lalu, kami menyampaikan bahwa polisi telah melakukan penanganan, dan dalam 5 jam sudah terkendali dengan baik. Statemen ini membuat industri pariwisata merasa lega, aman dan tidak was was," katanya.
Langkah emergency selanjutnya, kata dia, adalah suspense advertising. Pukul 16.00 Menpar mengumumkan, atas dasar pertimbangan etik, maka seluruh tayangan promosi Wonderful Indonesia di semua channel dihentikan dalam waktu 7 hari.
"Karena Polisi berhasil membereskan situasi, maka pukul 19.00 kami mencabut penundaan promosi pariwisata itu, jadi masa hold itu cuma 3 jam saja," jelasnya.
Lalu, lanjutan langkah emergency adalah Assure Industry. Memastikan semua sektor yang berada di bawah kemenpar tetap beroperasi dengan normal.
"Kami sudah cek 14 hotel di seputar kawasan Thamrin, semua aman. Tidak ada yg cancellation, tidak ada yang check out lebih cepat. Kami sudah sudah pantau perhotelan dan penerbangan di Bali, Batam, Jogja, semua aman," jelasnya.
Saat ini, kami memasuki fase Rehabilitasi, dari 17-31 Januari 2016. Kerusakan paling parah akibat insiden Thamrin itu adalah image Pariwisata Indonesia. Itulah yang sedang kami rehabilitas di mata dunia internasional. Selanjutnya 1-14 Februari masanya, normalisasi, memastikan semua berlangsung normal seperti biasanya.
"Ilmu ini penting, karena krisis bisa saja terjadi di mana saja, dan kapan saja. Kita tidak pernah meminta, tapi kalau dia datang kita wajib tahu, langkap apa saja yang harus dilakukan," ujar Marketeer of The Year 2013 ini.