TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Batavia sekitar tahun 1600-an di bawah kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) ketika itu dipimpin Jan Pieterszoon Coen, mayoritas penduduknya merupakan etnis Tionghoa.
Masyarakat berlatar belakang etnis Tionghoa ini merupakan orang-orang yang melarikan diri dari Mansuria yang ketika itu sedang mengalami perang.
Mereka melarikan diri ke Batavia tanpa membawa istri.
Di Batavia, mereka mencari gundik atau pengganti istri.
Dalam proses pencarian gundik itu, etnis Tionghoa itu kerap bertemu di kawasan bantaran sungai yang kini bernama Sungai Angke.
Tempat yang dijadikan pertemuan pencarian jodoh itulah yang kemudian dinamakan Kalijodo.
Para calon gundik ini merupakan perempuan lokal.
Biasanya para gadis pribumi menarik pria etnis Tionghoa dengan menyanyi lagu-lagu klasik Tionghoa di atas perahu yang tertambat di pinggir kali.
Tahun 1930 banyak pemuda lajang yang datang ke tempat itu untuk mencari pasangan.
Ada juga muda-mudi yang datang di kawasan itu untuk menikmati sungai di kawasan Kalijodo.
Semakin lama, mulai berdiri warung-warung yang menjajakan aneka makanan dan minuman.
Warung yang awalnya semi permanen itu kemudian berubah menjadi kafe-kafe dengan bangunan permanen.
Pengunjung yang datang pun tak lagi muda-mudi yang saling berpasangan. Mayoritas pengunjung adalah perempuan yang menjajakan diri. (tribunnews/berbagai sumber)
Data Kalijodo
Bangunan di Kalijodo
- 650 bangunan di Jakarta utara
- 105 bangunan di Jakarta barat
Cafe:
- 57 cafe di Jakarta Utara
- 1 Cafe di Jakarta Barat
Warga:
- 3.052 warga di Jakarta Utara
- 400 warga di Jakarta Barat
Tempat Ibadah
- 1 Gereja di Jakarta Utara
- 1 Masjid di Jakarta Utara
- 1 Masjid di Jakarta Barat
- 400 Pekerja seks komersial (PSK)
(tribunnews/berbagai sumber)