TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Berkas perkara kasus kematian Wayan Mirna Salihin dengan tersangka Jessica Kumala Wongso telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Namun, kasus tersebut masih ramai diperbincangkan khalayak ramai.
Pasalnya, banyak pihak yang menilai bahwa barang bukti yang diserahkan penyidik Polda Metro Jaya ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dinilai tidak kuat untuk dijadikan alat bukti.
Salah satu barang bukti yang diperdebatkan adalah sampel celana yang disertakan penyidik untuk menggantikan celana Jessica yang hilang.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Awi Setiyono mengakui sampel celana yang menjadi barang bukti dalam kasus kematian Mirna bukanlah celana milik Jessica yang hilang. Polisi terpaksa membeli celana untuk dijadikan barang bukti dan contoh dalam pengungkapan kasus pembunuhan tersebut.
Pasalnya celana yang Jessica kenakan sewaktu Mirna tewas pada 6 Januari 2016 lalu telah dibuang. Jessica beralasan membuang celana tersebut lantaran sudah sobek.
Adapun yang membuang celana itu adalah pembantunya atas perintah dari Jessica. Untuk itu pihak kepolisian membelikan dua potong celana sebagai alat peraga untuk menggantikan celana yang hilang tersebut.
Hal itu untuk menggali keterangan dari Jessica dan pembantunya mengenai bagaimana tekstur sobeknya celana yang dibuang itu.
"Makanya polisi beli celana untuk dipraktikkan Jessica dan pembantunya bagaimana sobeknya, itu fakta hukumnya ditaruh, nanti dikasih tahu sama hakim dan JPU," ujar Awi di Mapolda Metro Jaya, Senin (30/6/2016).
Awi melanjutkan, hasil praktik itu nantinya akan digunakan dalam persidangan untuk membuktikan adanya perbedaan keterangan antara tersangka dan pembantunya.
"Nanti dikasih tahu sama hakim dan JPU. Ini loh bahwa si tersangka bohong. Mengenai yang benar yang mana biar hakim yang menilai," ucapnya.
Terkait hal tersebut, pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakir, menilai penggunaan sampel celana untuk menggantikan celana yang hilang dalam kasus tersebut tidak masalah.
Menurut dia polisi menggunakan sampel celana itu hanya alat peraga untuk menggali keterangan dari tersangka dan saksi.
"Itu hanya teknik untuk membuktikan jika bentuk celana yang hilang itu seperti apa, jadi celana itu bukan sebagai alat bukti, istilahnya hanya sebagai peraga lah," ujarnya ketika dihubungi Kompas.com Senin (30/5/2016).
Muzakir mencontohkan, dalam suatu kasus pembunuhan yang menggunakan sebilah pisau, biasanya yang dijadikan alat peraga adalah pisau yang terbuat dari kertas, bukan pisau asli yang dipakai tersangka dalam melakukan tindak pidana pembunuhan tersebut.
Hal itu menurut Mudzakir hanya untuk mencari keterangan yang nantinya digunakan menjadi alat bukti dalam persidangan.
"Jadi itu adalah teknik-teknik untuk mengungkap suatu keterangan. Itu teknik penyidikan. Intinya yang dipakai itu keterangannya," ucapnya. (Baca: Babak Baru Kasus Jessica dan Alat Bukti yang Dipertanyakan)
Tidak bisa jadi barang bukti
Namun Muzakir menjelaskan, jika maksud dari polisi menggunakan sampel celana tersebut untuk dijadikan alat bukti sebagai pengganti celana yang telah hilang, tidak bisa. Sampel celana tersebut hanya bisa digunakan polisi sebagai alat simulasi.
"Tapi kalau celana yang dipakai Jessica saat kejadian diganti sampel celana yang dibeli polisi dan dijadikan alat bukti ya enggak bisa, tapi kalau sampel celana itu hanya untuk simulasi ya enggak jadi masalah," kata dia.
Mudzakir menerangkan alat bukti dan barang bukti itu memiliki perbedaan. Menurut dia alat bukti adalah alat yang dipergunakan untuk membuktikan suatu tindak pidana, yaitu bisa berupa keterangan saksi, surat, keterangan ahli, keterangan terdakwa, alat bukti petunjuk, alat bukti dokumen dan informasi elektronik.
Sedangkan barang bukti adalah, barang atau benda yang dipakai untuk melakukan persiapan kejahatan atau yang digunakan untuk melakukan kejahatan dan yang berasal dari tindak kejahatan atau hasil kejahatan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan, jika sampel celana digunakan polisi untuk menjadi alat bukti dalam kasus Jessica, masih tergolong lemah.
"Sampel celana itu tidak kuat jadi alat bukti, kualitas alat buktinya jadi meragukan," ujar Supriyadi kepada Kompas.com, Senin (30/5/2016).
Meskipun dianggap lemah, Supriyadi menuturkan, tidak ada larangan terkait apa saja yang bisa dijadikan alat bukti. Namun alat bukti yang lemah berpotensi digugurkan oleh hakim dalam persidangan.
"Silakan saja, tetapi kan nanti ada pemeriksaan silang dari hakim dan advokat, hal itu pasti beresiko disanggah," ujarnya. (Baca: Sampel Celana Jessica yang Dibeli Polisi Dinilai Lemah untuk Jadi Alat Bukti )
Kuasa hukum Jessica, Yudi Wibowo, beberapa waktu yang lalu juga mempertanyakan barang bukti tersebut. Penggunaan sampel celana yang hilang untuk dijadikan barang bukti dianggap tindakan yang tidak sesuai.
"Kalau alat bukti seperti celana dibelikan di Pasar Tanah Abang itu kan enggak bisa, bukan alat bukti itu. Itu namanya ilmu gatuk, kalau orang Jawa ngomongnya ilmu gatuk itu (artinya) dicocok-cocokkan, asal sesuai memenuhi unsur gitu," kata Yudi, seusai menemani Jessica ke Rutan Pondok Bambu.
Dalam kasus ini, Mirna tewas setelah minum es kopi vietnam di Kafe Olivier, Grand Indonesia, pada 6 Januari 2016. Ketika itu, ia sedang bersama dengan dua temannya, Jessica dan Hani. (Baca: "Jessica Bilang sama Saya, Dia Harus Bebas")
Hasil pemeriksaan laboratorium forensik menunjukkan, kopi yang diminum Mirna mengandung racun sianida. Polisi kemudian menetapkan Jessica sebagai tersangka kasus pembunuhan itu pada Jumat (29/1/2016) malam dan menangkap Jessica keesokan harinya, Sabtu (30/1/2016) pagi.
Jessica dijerat Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana jo Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan. Jessica akan terancam hukuman mati (Akhdi Martin Pratama).