TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok berpandangan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan maka seharusnya tidak dengan aturan cuti petahana, tapi melalui penguatan pada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Ahok mengatakan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, terutama Pasal 70 ayat (3) a, tidak tepat untuk menghapus penyalahgunaan kekuasaan.
Sehingga seharusnya, seorang petahana tidak wajib untuk cuti.
Untuk menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan seorang petahana, semisal memanfaatkan fasilitas negara untuk kampanye, seharusnya Pemerintah Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia memperkuat peran Bawaslu.
"Memperkuat fungsi, tugas, serta wewenang institusi yang sudah ada sesuai peraturan perundang-undangan, yakni Badan Pengawas Pemilihan Umum Repulbik Indonesia. Bawaslu diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011," ujar Ahok di Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu (31/8/2016).
Berdasarkan Pasal 1 angka 16 dari UU Peraturan Pemilihan Umum mengatur bahwa Bawaslu adalah lembaga penyelenggara pemilihan umum yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 75 ayat 1 dari UU PPU juga mengatur bahwa Bawaslu Provinsi bertugas dan berwenang mengawasi tahapan penyelenggaraan pemilu yang meliputi pelaksanaan kampanye. Ahok berpandangan tidak selayaknya pembuat undang-undang memiliki asumsi yang tidak baik dalam membentuk suatu peraturan.
Terutama, pembuat undang-undang berasumsi, bahwa setiap petahana akan melakukan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power dalam melaksanakan kampanye.
"Seharusnya pembuat Undang-undang berada pada posisi netral dalam merumuskan suatu peraturan. Apabila tujuan dari pembuat Undang-undang adalah membasmi abuse of power, maka akan lebih tepat bila memperkuat Bawaslu," kata Ahok.