Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Tim penasihat hukum terdakwa Jessica Kumala Wongso menghadirkan ahli hukum pidana dari Universitas Brawijaya, Masruchin Ruba’i.
Dalam persidangan, jaksa penuntut umum (JPU) keberatan dengan pertanyaan soal penyitaan barang bukti oleh polisi dalam kasus kematian Wayan Mirna Salihin.
"Konsen saya hukum pidana materiil. Tapi saya juga tahu hukum pidana formil," kata saksi ahli, Masruchin Ruba'i di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (22/9/2016).
Sementara itu JPU, Shandy Handika mengungkapkan keberatan lantaran seorang penasihat hukum Jessica Kumala Wongso, Sordame Purba tidak menyinggung aspek materiil sebagaimana keahlian Ruba'i.
Bahkan ia menilai penasehat hukum cenderung memaksa ahli untuk menjawab aspek formil atau acara pidana perihal penyitaan.
"Izin yang mulia, ini ahli sudah dipaksa," kata Shandy.
Ruba'i menjelaskan bahwa penyitaan yang tidak memenuhi syarat, bisa dinyatakan secara formal tidak sah.
Namun, dia mengaku tidak memahami secara detail.
"Secara umum saja, tapi detail saya tidak paham," kata Ruba'i.
Mendengar jawaban itu, Shandy kembali menyerang penasehat hukum.
"Izin yang mulia, pertanyaannya ini formil. Mohon dibatasi, penasehat hukum mohon pertanyaan diperdalam," kata Shandy.
Hakim Kisworo pun mencoba menengahi dengan menanyakan kepada Ruba'i, merujuk pada Peraturan Kapolri (Perkap), barang bukti yang harus disita ialah otak, jantung, dan hati korban.
"Menurut perkap yang harus disita kan otak, jantung. Kalau yang disita dua dari lima, bagaimana menurut ahli? Kan ahli tidak paham patogi forensik," kata Kisworo.
Sidang pun dilanjutkan dan masih diselingi protes JPU lantaran pengacara masih saja bertanya perihal hukum pidana formil.
"Ya sudah begini saja, ahli dibatasi sebagai ahli pidana. Karena pidana materiil dan formil juga berkaitan," kata Kisworo.