Senada dengan Wahid, Aini menilai apa yang terjadi di kampungnya memperlihatkan bahwa saat itu Pemprov DKI benar-benar berniat untuk menata dan bukan menggusur warga. Aini mengaku kehidupannya berubah setelah Pemprov DKI membantu merenovasi rumahnya.
Dulu, rumah Aini dibangun menggunakan kayu dan tripleks. Belum lagi, lingkungan yang kotor membuat dirinya khawatir anaknya akan terkena penyakit.
Selain itu, program Kampung Deret membuat suaminya tidak harus meninggalkan pekerjaannya sebagai nelayan
"Kalau misalnya digusur, mau kerja apa ya, saya juga enggak tahu. Saya lihat di televisi, kasihan juga mereka (digusur), Pak Ahok maunya rusun terus, enggak mau buat yang seperti ini," ujar Aini.
Aini juga bersyukur, selama adanya Kampung Deret, air bersih dari PAM kini mengalir ke semua rumah warga. Sebelumnya, warga harus membeli air dari perusahaan swasta dengan tarif pengisian Rp 15.000 per jam.
Kini, dengan tarif Rp 65.000 per bulan, warga bisa menggunakan air bersih kapan pun diperlukan. Warga lainnya, Kasuli, menilai penertiban yang dilakukan Pemprov DKI bukanlah solusi. Saat ini, kata Kasuli, kehidupannya lebih baik tanpa harus digusur.
"(Penggusuran) bukan solusi menurut saya," ujar Kasuli.
Penulis: David Oliver Purba