TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pungli preman di GBK Senayan seolah menjadi duri dalam daging, yang masih terus berlangsung hingga saat ini.
Bahkan saking membandelnya praktik pungli di parkiran GBK Senyan, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, YLKI sebut GBK Senayan seperti negara dalam negara.
Alasannya menurut Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, Pemprov DKI Jakarta tidak bisa campur tangan ke dalam karena otoritas Setneg.
Yups, seperti diketahui areal GBK Senayan dimiliki oleh Sekretariat Negara (Setneg).
Jika dimikian, semestinya Setneg punya kewenangan untuk menertibkan praktik pungli parkir GBK Senayan.
Lantas mengapa terkesan dibiarkan? “Pihak Setneg harus tegas,” jelas Tulus Abadi, yang juga mengalami kejadian dipungli oleh preman GBK Senayan.
Hal ini membuat gerah, sebab GBK Senayan menjadi area favorit ditengah kian menipisnya ruang terbuka hijau di Ibukota.
GBK Senayan juga kerap dijadikan lokasi kongkow sobat komunitas otomotif.
“Para preman ini memungli Rp 10.000 per konsumen. Preman ini setengah memaksa jika konsumen menolak dan mobil terancam mengalami masalah. Mau tidak mau konsumen mengeluarkan Rp 10.000 untuk upeti ke preman. Itu yang saya alami kemarin saat menghadiri momen Garuda Travel Fair di JHCC, Ahad 09/10/2016,” beber Tulus.
Padahal, ada retribusi parkir resmi yang dipungut ketika masuk areal GBK Senayan.
Lantas mengapa dipungut biaya parkir lagi di dalam, terkesan ada indikasi kongkalikong dengan pengelola maupun aparat keamanan GBK Senayan.
Wah, masa iya hal seperti tak tersentuh hukum. Pantas saja jika Presiden Jokowi bakal membentuk Satgas Sapu Bersih Pungli.
Karena faktanya, pungli telah menjadi praktik keseharian yang terjadi tak hanya di level birokrat tapi sampai ke masyarakat umum.