TRIBUNNEWS, COM.JAKARTA - Gabungan LSM hukum yang menamakan diri Aliansi Masyarakat Peduli Hukum (AMPUH) Indonesia itu terdiri atas Masyarakat Indonesia Pemantau Anti-Kriminalisasi Hukum, Komite Anti-Korupsi Indonesia, Indonesia Development Monitoring, Masyarakat Pemantauan Peradilan Indonesia, dan Komite Pungli dan Suap Indonesia memantau persidangan perkara dana hibah Kadin Jatim yang didakwakan kepada Ketua Umum Kadin Jatim La Nyalla Mahmud Mattalitti.
Delapan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bidang hukum memberikan pendapat publik kepada majelis hakim yang mengadili perkara tersebut. Pendapat tersebut disampaikan melalui amicus curiae atau sahabat pengadilan.
Selain itu, ada Jaringan Mahasiswa Hukum untuk Keadian, Masyarakat Peduli Hukum dan Politik Indonesia, Indonesia Prosecutor Watch. AMPUH mengharapkan hakim agar membebaskan La Nyalla dari dakwaan primair maupun subsidair.
“Kami mengajukan sebagai amicus curiae atau sahabat pengadilan karena ingin mengajukan pendapat terhadap jalannya kasus La Nyalla terkait dana hibah Kadin Jatim. Bagi kami, ini momentum yang pas untuk memberikan pendapat sekaligus memperjelas kepada publik, mana kasus hukum yang benar-benar murni hukum dan mana yang bias dengan kepentingan nonhukum. Kami sudah berkirim surat ke PN Jakarta Pusat, Kamis,” ungkap Koordinator Ampuh, Budi Prawira, Kamis (22/12/2016).
Budi menjelaskan, penggunaan amicus curiae adalah hal yang biasa dalam peradilan sebagai bentuk partisipasi publik.
“Kami sama sekali tidak mengintervensi independensi hakim. Mekanisme ini kami tempuh untuk memberikan pendapat masyarakat. Sehingga kami mengharapkan putusan hakim bisa lebih holistik, karena didasarkan pada pertimbangan yang lebih lengkap, mendalam dan menggunakan pendekatan yang menyeluruh, termasuk menggali nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat seperti diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,” urai Budi.
Ia juga menambahkan, pihaknya bersama delapan NGO bidang hukum yang tergabung dalam AMPUH memang memantau jalannya persidangan perkara La Nyalla. Dan atas amatan tersebut, AMPUH sampai pada kesimpulan adanya praktik non-hukum dalam perkara tersebut.
“Sebab, patut diduga telah terjadi praktik penyalagunaan hukum dan kekuasaan dalam perkara yang didakwakan kepada La Nyalla,” jelasnya.
Seperti diketahui, perkara La Nyalla sejatinya adalah perkara lawas yang telah diputus di pengadilan pada Desember 2015.
Terpidananya adalah dua wakil ketua umum Kadin Jatim, yakni Diar Kusuma Putra dan Nelson Sembiring. Perkara tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Dalam dakwaan maupun putusan perkara disebutkan, Diar dan Nelson adalah pelaku tindak pidana dan tidak ada pelaku peserta (deelneming) yang lain selain keduanya.
Tapi kemudian, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim kembali membuka perkara tersebut, dan menetapkan La Nyalla sebagai tersangka penggunaan dana hibah Kadin Jatim. Kejaksaan mengklaim menemukan bukti baru.
Kejati Jatim menerbitkan serangkaian surat perintah penyidikan (Sprindik) dan penetapan tersangka terhadap La Nyalla. Atas penetapan tersangka tersebut, La Nyalla mengajukan permohonan praperadilan, di mana pengadilan kemudian memutuskan bahwa penetapan La Nyalla sebagai tersangka adalah tidak sah dan perkara dana hibah Kadin Jatim sudah tidak dapat dibuka kembali.
Sudah ada tiga putusan pengadilan yang menyatakan hal tersebut, yaitu putusan 7 Maret 2016, 12 April 2016, dan 23 Mei 2016.
“Kalau kita mengikuti perkembangan kasus ini, terlihat jelas bahwa Kejaksaan tidak menjalankan putusan pengadilan. Kejaksaan menutup mata dengan tujuan hanya untuk membawa La Nyalla ke persidangan. Dari sini, kita bisa tahu ada bias kepentingan non-hukum yang sangat kental mewarnai jalannya kasus ini,” tutur Budi Prawira.