TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Police Watch (IPW) menilai asas hukum equality before the law atau semua sama di muka hukum juga harus dijalankan dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Masjid Al Fauz di kantor Wali Kota Jakarta Pusat maupun pengelolaan dana bantuan sosial Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di Kwarda Pramuka DKI Jakarta tahun anggaran 2014 dan 2015.
Kedua kasus itu menyeret nama calon Wakil Gubernur DKI yang diusung Demokrat, Sylviana Murni.
Meskipun memang Polri pernah mengeluarkan Surat Edaran Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor SE/7/VI/2014 dan surat yang dikeluarkan pada masa kepemimpinan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti belum dicabut.
Baca: Lelah Diperiksa Polisi, Sylviana Murni: Kalau Mau Naik Kelas Harus Lulus Ujian
Dalam aturan tersebut dikatakan, ketika sudah memasuki tahapan pemilu, apalagi masa pendaftaran, maka semua laporan terhadap calon kepala daerah baik Bupati, Walikota, maupun Gubernur ditangani selesai pilkada.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane mengatakan adanya pengguliran pada kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), maka Perkap itu tidak bisa jadi acuan.
Karena kasus Ahok menjadi yurisprudensi bagi Perkap tersebut.
"Asas equality before the law harus dijalankan," ujar Neta kepada Tribunnews.com, Senin (30/1/2017).
"Kesalahannya adalah dulu waktu ada tekanan ke Polri untuk gulirkan kasus Ahok, tidak ada yang suarakan bahwa itu resikonya akan menegasikan perkap tersebut," Neta menambahkan.
Meskipun memang sayangnya Polri tidak secara tegas menyatakan perkap tersebut dicabut sehingga ada keraguan di publik, 'apakah perkap itu masih berlaku atau tidak.
Menurut Neta, harusnya Polri bersikap tegas dgn menyatakan perkap itu dicabut.
Untuk itu pula, menurutnya, tim sukses Agus -Sylvi harusnya memprapradilankan Polri dengan mengacu pada perkap tersebut agar ada kejelasan hukum.
Dampak dari kasus ketidakjelasan nasib perkap itu nantinya akan muncul tebang pilih dan akan gampang mengkriminalisasi calon-calon yang tidak disukai penguasa ataupun lawan politiknya.
"Resiko lainnya kasus ini akan membuat pilkada menjadi riuh. Aksi saling lapor akan muncul. Sementara jumlah penyidik Polri yang terbatas dipastikan tidak akan mampu menyelesaikannya," katanya.
Akibatnya, lanjut Neta, Polri harus siap-siap menghadapi konflik dan amuk massa dari masing-masing penduduk calon kepala daerah.