TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Presiden sekaligus Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendorong agar penegak hukum mengusut jika benar percakapan teleponnya dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maruf Amin yang muncul dalam persidangan Ahok, adalah benar terjadi.
Lalu, apa respon pihak Polri dan Kejaksaan Agung?
Kedua lembaga penegak hukum tersebut belum bisa melakukan tindakan pro justicia apapun atas keinginan SBY itu.
Polri saat ini baru bisa sebatas mencermati, mempelajari dan menilai apakah isu penyadapan kepada SBY yang disampaikan penasihat hukum Ahok di dalam persidangan itu benar fakta atau sekadar isu.
Jika benar fakta, maka informasi itu bisa menjadi bukti.
"Kami akan cermati, pelajari dan akan telusuri, dalam kaitan untuk membuat informasi itu betul-betul menjadi fakta," ujar Kabag Penum Divisi Humas Polri, Kombes Pol Martinus Sitompul, di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (3/2/2017).
Menurut Martinus, apa yang disampaikan penasihat hukum Ahok belum tentu informasi benar adanya.
Apalagi, pernyataan penasihat hukum Ahok itu mengacu pemberitaan media online.
Sementara, materi pernyataan dari pihak-pihak berperkara yang terjadi di dalam proses persidangan maupun bukti dugaan transkip percakapan SBY yang disampaikan penasihat hukum Ahok, adalah menjadi wewenang majelis hakim.
"Pada saat percakapan dalam persidangan itu terjadi, tentu itu adalah ranah kukuasaan kehakiman," kata Martin.
Martinus menegaskan, sementara ini Polri baru bisa sebatas mencermati, mempelajari dan memcari tahu benar atau tidaknya informasi yang bermula dari dalam persidangan Ahok itu.
"Bagaimana mencermati, tentu itu bagian dari taktik dan teknik dari polisi. Tidak bisa kami sampaikan. Pada prinsipnya, informasi-informasi yang beredar, tentu kami cermati, kami simpan dan kami assessment. Informasi harus valid, harus memiliki A1. Itulah yang kami cermati," ujarnya.
Sebelumnya Kadiv Humas Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar memastikan, pihaknya tidak terlibat penyadapan untuk hal di luar penanganan perkara yang sudah projusticia.
Kewenangan penyadapan Pori hanya bisa dilakukan dalam penyidikan kejahatan luar biasa, seperti terorisme. Dan langkah itu pun dilakukan atas seizin pengadilan.
Secara terpisah, Jaksa Agung M Prasetyo memilih lembaganya enggan ikut terbawa arus atas keinginan SBY itu. Ia menyatakan menolak komentar.
"Kami enggak komentar," kata Prasetyo.
Prasetyo juga membantah pihaknya terlibat dalam penyadapan di luar penanganan perkara.
Kewenangan penyadapan Kejaksaan Agung juga hanya bisa dilakukan dalam penyidikan kejahatan luar biasa dan harus atas seizin pengadilan.
Kewenangan Kejaksaan Agung dalam melakukan penyadapan berbeda dengan kewenangan penyadapan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebab, kewenangan KPK dalam penanganan kasus korupsi itu diatur dalam undang-undang yang bersifat khusus atau lex specialis.
"Kami punya alat sadap. Tap, kami tahu kapan (harus) digunakan. Lain dengan KPK, punya kewenangan kapan pun dia mau, siapa pun mau disadap," kata Jaksa Agung asal Partai NasDem itu.