TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli Hukum Tata Negara (HTN) Bivitri Susanti menilai Jaksa Agung HM Prasetyo tidak Baca Undang-Undang terkait penonaktifan Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta.
“Menurut saya itu sudah sangat jauh, mungkin beliau (Jaksa Agung) tidak membaca Undang-undang Pemerintah Daerah, tapi hanya berasumsi," ujar Bivitri dalam diskusi Perspektif Indonesia yang digelar oleh Smart FM bersama Populi Center di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (18/2/2017).
Soal pemberhentian, Bivitri mengatakan memang ada yang mengatur bahwa pemberhentian harus menunggu inkracht atau putusan berkekuatan hukum tetap.
Namun akan berbeda Undang-Undangnya jika mengacu kepada kasus yang dialami Basuki Tjahaja Purnama, yakni menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
"Nah, tapi yang harus diingat adalah konteks Undang-undang Pemerintah Daerah ini," kata Bivitri.
Sebelumnya, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menyebut pemberhentian sementara Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta baru bisa dilakukan jika hakim sudah menjatuhkan vonis.
Adapun, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan Kemendagri menunggu tuntutan jaksa penuntut umum untuk memutuskan apakah Ahok akan diberhentikan sementara atau tidak.
"Jadi kalau Mendagri mengatakan nanti kita tunggu tuntutan jaksa, susungguhnya bukan tuntutan jaksa. Putusan hakim yang benar," ujar Prasetyo, di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (17/2/2017).
Menurutnya, Pasal 8 ayat 1 Undang-unfang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah, disebutkan bahwa kepala daerah atau wakilnya diberhentikan sementara jika melakukan tindak pidana yang diancam hukuman minimal lima tahun.
Sementara, dalam dakwaan alternatif Pasal 156 huruf a yang dikenakan terhadap Ahok, hukumannya maksimal lima tahun.
Misalnya, kata Prasetyo, jaksa menuntut hukuman maksimal, belum tentu hakim memutuskan masa hukuman sesuai dengan tuntutan.
"Jadi bukan tergantung dari tuntutan jaksa, tapi tuntutan hakim seperti apa," kata dia.