Peneliti politik LIPI Irine Gayatri mengingatkan agar lembaga survei tidak apolitis. “Dalam kasus Pilkada DKI, sekarang tersisa antara petahana dan penantang, lembaga survei bisa membantu kandidat menjawab persoalan seperti fasilitas publik,” kritik Irine.
“Lembaga survei juga bisa memetakan kesiapan teknis KPU sebagai penyelenggara pemilu serta kecenderungan kampanye negatif,” usul Irine.
Tabulasi kualitatif serta demografi pemilih, mencakup jenis kelamin, agama, dan ekonomi bisa dibaca melalui survei, lanjut Irine. Diharap lembaga survei membantu memunculkan pemilih rasional, pungkas Irine.
Dari diskusi IWD tercatat ada tiga isu yang berkembang, yaitu transparansi dan akuntabilitas lembaga survei dalam hal pendanaan, tentang metodologi riset, dan etika lembaga survei ketika terlibat sebagai tim pemenangan.
“IWD didirikan untuk melindungi kepentingan publik dari efek destruktif data hoax yang dilancarkan lembaga-lembaga survei,” tegas Endang.
Selain tiga lembaga terbaik, IWD juga merilis tiga lembaga terbaik. “Mereka adalah Indikator Politik Indonesia, Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), dan Poltracking,” pungkas Endang. Masing-masing tercatat paling akurat memprediksi hasil Pilkada DKI, dengan rata-rata 3,50 (Indikator), 4,66 (SMRC), dan 5,84 (Poltracking).
IWD diinisiasi oleh para pegiat demokrasi di Jakarta. Selain Endang, ada nama-nama seperti Sudiarto, David Krisna Alka, dan Ardherisa Marliza.
IWD bekerja antara lain untuk memantau kinerja lembaga survei dalam rangka menguatkan kualitas demokrasi di Indonesia menjadi lebih programatik dan visioner.