TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pilkada tidak hanya di Jakarta tetapi hampir di 101 daerah pemilihan yang secara serentak dilaksanakan pada tanggal 15 Febuari yang lalu.
Pilkada Jakarta berlanjut sampai putaran kedua yang akan dilaksanakan pada tanggal 19 April merupakan salah satu ikhtiar penguatan demokrasi elektoral di dalam konstruksi Negara Hukum Indonesia yang diupayakan oleh seluruh elemen bangsa paska kejatuhan orde baru.
“Namun demikian apa yang terjadi justru sebaliknya setidaknya di Jakarta, meski kita bersyukur di daerah yang lain tidak terjadi. Adapun di Jawa Barat sedikit banyak mulai mengalami hal yang sama seperti di Jakarta,” demikian kata Hendardi, Aktivis Hak Asasi Manusia yang juga Ketua Setara Institute.
Hendardi sangat prihatin dengan suasana Pemilu DKI Jakata yang sarat akan gerakan-gerakan intoleran, sentimen dengan menghembuskan isu agama dan ras karena Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama mencalonkan diri.
Di satu sisi adalah soal hak dalam mengekspresikan diri bagi tiap individu atau kelompok. Sementara di lain sisi, tengah dipertaruhkan persoalan kebangsaan dan kebhinekaan.
Di dalam konteks sistem Pemilu dan Pilkada sudah mengalami kemajuan namun di dalam konteks kebangsaan mengalami kemunduran.
Menurut Hendardi, dari proses Pilkada DKI Jakarta, ada hikmah yang bisa diambil bahwa kita bisa memotret dengan pasti bagaimana sebenarnya masyarakat kita. Dan ini pekerjaan rumah yang cukup besar untuk kita selesaikan ke depan.
“Kita tidak bisa membiarkannya, persoalan ini pun bukan sekedar urusan polisi dan satpol PP yang menurunkan spanduk-spanduk beraroma teror. Jadi tidak bisa kita percayakan seratus persen kepada aparat keamanan. Karena ini ada persoalan yang berkait dengan daya tahan mengahadapi persoalan isu sara dan agama yang mengarah kepada intoleran yang mesti kita perbaiki,” imbuh Hendardi.