TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Berita bohong atau hoax semakin marak selama proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ridho Imawan Hanafi, mengatakan hal tersebut antara lain karena media 'mainsteram' atau media arus utama gagal memaksimalkan peranannya.
Dalam pemaparannya di kantor LIPI, Jakarta Selatan, Rabu (3/5/2017), ia menyebut walaupun media sosial (medsos) peranannya semakin dominan di masyarakat namun peran media arus utama tetap diperhitungkan.
Baca: Peneliti LIPI: Pilkada DKI Jakarta 2017 Sebuah Kemunduran yang Harus Dihargai
Hal itu terbukti pada pemberitaan debat antar kandidat yang digelar selama pelaksanaan pilkada.
"Hal itu bisa dilihat dari efek tayangan debat terbuka pasagan calon kepala daerah yang dilakukan sebanyak tiga kali," ujarnya.
Media seharusnya muncul untuk memberikan pencerahan, yang bisa dijadikan acuan oleh masyarakat luas, di era maraknya berita bohong.
Berita-berita yang berpotensi memecah belah bangsa.
Kurang maksimalnya peranan media dalam mengawal jalannya proses Pilkada DKI Jakarta 2017, diduga antara lain karena sebagaian media pemiliknya merupakan aktor politik yang mempunyai peranan besar dalam perpolitikan Indonesia.
"Kondisi ini tentu menimbulkan pertanyaan seputar independensi media dalam pemberitaan," katanya.
Aktor-aktor politik tersebut antara lain Surya Paloh yang merupakan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem, Harry Tanoesoedibjo Ketua Umum DPP Partai Perindo, Aburizal Bakrie mantan Ketua Umum DPP Partai Golkar.