TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jakarta semakin menggeliat memperbaiki diri. Jakarta dengan problematika yang tak pernah selesai secara tuntas.
Jakarta dengan sejuta persoalan yang datang silih berganti. Jakarta yang tak lagi ramah dan Jakarta yang menjadi tumpuan harapan jutaan manusia.
Masyarakat Jakarta kini nyaris tak pernah mengenal waktu. Berangkat Subuh, pulang larut malam. Begitu juga seterusnya. Terjebak rutinitas dan kadang terasa menjenuhkan.
Belum lagi persoalan kemacetan lalu lintas yang membuat penduduk Jakarta larut dalam kebisingan dan terpapar polusiudara.
Diprediksikan, di masa mendatang, wajah Jakarta akan tampaknya semakin ruwet, kendati berbagai macam terobosan untuk mengatasi kemacetan sudah sering dilakukan.
Menurut data dari BPS Provinsi DKI, tingkat pertumbuhan kendaraan dari tahun ke tahun cukup tinggi. Sementara panjang dan lebar jalan tidak berubah, 6.956.842,26 meter. Sedangkan jumlah kendaraan bermotor mencapai 16.072.869.
Jumlah motor dan mobil di Jakarta meningkat sebesar 12 persen tiap tahunnya. Berdasarkan data yang dikeluarkan Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, jumlah kendaraan bermotor di Jakarta dan sekitarnya naik sebanyak 5.500 hingga 6.000 unit kendaraan per hari.
Jumlah tersebut didominasi oleh pertambahan sepeda motor yang mencapai 4.000 hingga 4.500 per hari. Sedangkan kendaraan roda empat mengalami pertumbuhan sebanyak 1.600 unit per hari.
Tahun 2014, jumlah kendaraan bermotor di Jakarta mencapai 17.523.967 unit yang didominasi oleh kendaraan roda dua dengan jumlah 13.084.372 unit.
Diikuti dengan mobil pribadi sebanyak 3.226.009 unit, mobil barang 673.661 unit, bus 362.066 unit, dan kendaraan khusus 137.859 unit.
Sebuah lembaga penganalisis data kemacetan lalu lintas yang berbasis di Washington, Amerika Serikat, INRIX pernah merelease, para pengendara mobil di Jakarta menghabiskan waktu total 55 jam terjebak kemacetan selama satu tahun.
Jakarta menduduki peringkat ke-22 dunia atau tepat di bawah Bangkok untuk level Asia. Penilaian itu didasarkan pada waktu rata-rata kemacetan dalam jam sibuk.
Kemacetan lalu lintas ini, menurut INRIX, menimbulkan kerugian ekonomi yang tak sedikit. Bahkan, masih menurut survei, masyarakat Jakarta menghabiskan 6-8 % PDB untuk biaya transportasi.
Padahal idealnya menurut standar internasional adalah 4 % dari PDB. Pemborosan itu membuat uang yang seharusnya bisa dialokasikan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya, terpaksa dikeluarkan untuk biaya transportasi.
Belum lagi dampak kemacetan terhadap kerusakan lingkungan akibat polusi udara.
Di beberapa titik di jalanan Jakarta tingkat polusi udara telah melebihi batas yang diperbolehkan.
Semakin banyak jumlah kendaraan bermotor, semakin banyak pula gas buangan dan semakin tinggi pula tingkat polusi udara.
Peneliti dari Desert Research Institute, Sarath Guttikunda, mengatakan polusi udara di Jakarta dan sekitarnya membuat 260 ribu orang terserang penyakit pernapasan dan 85 ribu orang dirawat di rumah sakit per tahun. Jumlah itu merupakan hasil rata-rata penelitian yang dimulai pada 2012 hingga 2015.
Studi Japan International Cooperation Agency (JICA) pada tahun 2000 menyebutkan, bahwa Jakarta terancam menjadi kota gagal akibat kemacetan sangat parah pada 2014. Meski tak sepenuhnya terbukti, namun JICA tak mengada-ada.
Buktinya, pengamatan oleh produsen GPS, TomTom, pada jam jam padat menemukan bahwa Jakarta tahun ini telah menjadi kota dengan kemacetan terparah keempat di dunia setelah Bangkok, Mexico City, dan Bucharest.
Kemacetan yang demikian hebat ini tentu saja membuat mobilitas masyarakat Jakarta sangat lamban, sehingga produktifitas mereka rendah.
Akibat tingkat stres yang meningkat, warga Jakarta mudah tersulut emosinya.
Seperti dilansir jakartapedia.bpadjakarta.net, sedikitnya empat belas persen (14%) warga Jakarta mengalami stres. Prosentase ini terbilang tinggi. Rata-rata warga yang mengalami stress di Indonesia hanya sekitar 11,6 persen.
Penyebab stres warga Jakarta ini bermacam-macam. Seperti kemacetan lalu lintas yang tak kunjung bisa diatasi dan tuntutan pekerjaan yang tinggi.
Menurut dokter ahli jiwa Suryo Dharmono, gejala-gejala stresmudah dilihat. Seperti contohnya perasaan sedih, murung, tak bersemangat, sulit berkonsentrasi, dan tidak efektif dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Kini jutaan warga Jakarta harus menghabiskan waktu berjam jam untuk pulang-pergi dari dan menuju ke tempat kerja. Sampai kapan?
Lalu akankah Jakarta berubah menjadi kota yang paling nyaman untuk ditempati? Jika tidak, beranikah kita segera menentukan pilihan untuk menetap di daerah yang nyaman, bebas dari kemacetan, polusi udara dan stres? (tim/berbagai sumber)