News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Menteri Agraria dan Gubernur DKI Diminta Jelaskan Diterbitkannya HGB Pulau D

Penulis: Wahyu Aji
Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sejumlah massa yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta melakukan aksi di depan Gedung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta, Kamis (3/11/2016). Aksi tersebut mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk membatalkan reklamasi serta mencabut izin lingkungan di Pulau G, C, dan D karena reklamasi merugikan nelayan tradisional. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

"Ini proses super kilat yang tak masuk akal. Lalu, sertifikat ini juga diterbitkannya oleh Kantor Pertanahan Jakarta Utara, padahal luas lahan di-HGB-kan mencapai Rp 3,12 juta meter persegi," kata Fadli.

Fadli mengutip Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional 2/2013, yang isinya Kantor Pertanahan hanya bisa memberikan HGB atas tanah maksimal 20 ribu meter persegi.

"Jadi, bagaimana ceritanya sebuah kantor pertanahan di level kota/kabupaten bisa memberikan HGB tanah lebih dari tiga juta meter persegi? Bahkan kanwil pertanahan di provinsi saja sesuai aturan hanya bisa memberikan HGB maksimal untuk tanah seluas 150 ribu meter persegi," kata Fadli.

Selain itu, Fadli juga menilai, ketidakberesan juga bisa dilihat dari sertifikat HGB itu hanya diberikan kepada satu perusahaan pengembang.

Padahal, sesuai dengan Surat Edaran (SE) Menteri Agraria/Kepala BPN No. 500-1698 tanggal 14 Juli 1997, disebutkan jika permohonan izin lokasi dan hak atas tanah yang meliputi keseluruhan dari satu pulau tidak diperkenankan.

"Nah, ini satu pulau reklamasi yang perizinannya bermasalah, HGB-nya diserahkan begitu saja hanya kepada satu pengembang. Ini benar-benar menyakiti akal sehat dan rasa keadilan masyarakat," katanya.

"Jika pelanggaran tata ruang dilakukan oleh rakyat kecil, mereka langsung berhadapan dengan polisi, aparat penegak hukum dan buldoser. Tapi jika pelanggaran tata ruang itu dilakukan oleh pengembang besar, mereka mendapatkan permakluman, pengampunan, dan bahkan kemudian mendapatkan keistimewaan," tambahnya.

Di luar isu penegakan hukum dan keadilan, dia juga mencium ada kesan bahwa pihak pemerintah, baik pusat maupun Provinsi DKI, dalam beberapa bulan terakhir ini sebenarnya sedang melakukan kejar tayang agar sebelum Oktober 2017 nanti, seluruh keperluan legal untuk melanjutkan kembali proyek reklamasi telah selesai.

"Seperti yang kita ketahui, Pilkada DKI pada Februari lalu dimenangkan oleh pasangan Anies-Sandi, yang salah satu programnya adalah penghentian proyek reklamasi. Keduanya juga getol mewacanakan untuk mengubah fungsi pulau hasil reklamasi yang bermasalah, dari semula kawasan hunian dan bisnis mahal, kemudian akan dijadikan ruang terbuka hijau," kata Fadli.

Pengerjaan proyek pembangunan permukiman, perkantoran, dan kawasan niaga, di pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta, Sabtu (12/12/2015). (TOTOK WIJAYANTO/Kompas)

"Nah, saya melihat sejumlah keputusan penting terkait reklamasi yang dirilis pemerintah belakangan ini berpacu dengan waktu pelantikan Anies dan Sandi pada bulan Oktober nanti. Itu sebabnya, meskipun prosesnya tidak masuk akal, seperti pemberian HGB ini, pemerintah tutup mata," kata Fadli.

Fadli yakin sesudah HGB ini diberikan, berikutnya adalah izin lingkungan dan amdal untuk pulau-pulau reklamasi yang bermasalah juga akan segera diberikan, dan moratorium reklamasi akan segera dicabut oleh pemerintah.

Untuk itu dia mendesak, Menteri Agraria dan Gubernur DKI perlu mengklarifikasi masalah ini.

"Masalah ini bukan hanya soal agraria biasa, tapi sudah masuk dalam kategori abuse of power. Kita tak boleh membiarkan ini terjadi," katanya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini