TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Masalah Kesehatan Marius Widjajarta menegaskan bahwa dalam menjalankan bisnis pelayanan kesehatan, pihak rumah sakit harus memahami betul landasan-landasan serta segala bentuk perundangan yang ada.
Hal ini untuk menghindari ketidakpahaman dalam menghadapi situasi-situasi tertentu, yang dapat menyebabkan akibat fatal.
Marius mengatakan hal ini berkaca kepada meninggalnya bayi Debora yang dianggap tidak mendapatkan penanganan serius ketika orang tua memutuskan menggunakan layanan BPJS Kesehatan. Sementara, RS Mitra Keluarga belum bekerja sama dengan pihak BPJS Kesehatan.
"Ini terjadi karena tidak adanya standar nasional soal pelayanan kesehatan. Sistem pengawasan yang dilakukan pun dipertanyakan bagaimana. Menurut saya kesalahan RS Mitra Keluarga adalah manajemen yang tidak baik," katanya ketika dihubungi pada Kamis (14/9/2017) malam.
Dalam hal ini Marius menyoroti peran Kementerian Kesehatan untuk menangani permasalahan-permasalahan serupa yang sering terjadi.
Jika tidak ada kejelasan mengenai standar nasional yang dimaksud, yang menurutnya telah dicanangkan oleh WHO, ia menyebut permasalahan serupa akan kembali terjadi.
"Dengan tidak ada kejelasan soal standar nasional itu harga nyawa di Indonesia seolah murah. Padahal WHO sendiri telah menetapkan empat pilar, salah satunya soal standar nasional. Tapi kenapa hingga sekarang tidak dijalankan? Ini pekerjaan rumah Kemenkes."
Atas hal yang menimpa bayi Debora, ia sepakat jika rumah sakit itu mendapat sanksi bahkan hingga pembekuan izin, sebagai pembelajaran untuk rumah sakit lainnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Apalagi jika mengacu kepada perundangan yang berlaku. Marius yang juga Ketua Yayasan Perlindungan Konsumen Kesehatan Indonesia menyebut setidaknya ada sejumlah hal yang diabaikan dari Undang-undang Kesehatan No 3 tahun 2009 yakni, Undang-undang Rumah Sakit No 44 tahun 2009 dan Undang-undang Konsumen No8 tahun 1999.
Baca: Dinkes DKI Turunkan Tim ke RS Mitra Keluarga Kalideres untuk Investigasi
Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka. Hal ini tertuang dalam UU Kesehatan 36/2009, Pasal 32 ayat 2.
Sedangkan Pasal 190 (1) memyebut, Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melanggar Pasal 32 ayat 2 itu dipenjara maksimal 2 tahun dan denda maksimal Rp 200 juta.
Baca: Indra Jaya Piliang Korban Pergaulan dan Salah Pilih Teman
Pasal 190 (2) menjelaskan, jika menyebabkan kematian, dipenjara maksimal 10 tahun denda paling banyak Rp 1 miliar.
Jika ada RS yg menerapkan kebijakan deposit atau uang muka untuk pasien gawat darurat dapat melaporkan ke hotline Kementrian Kesehatan 1500567.
Baca: Taksi Express Turunkan Target Setoran dari Rp 240.000 Menjadi Rp 150.000 Per Hari
"Ya kalau perlu dibekukan saja izinnya. Kalaupun mereka mau beroperasi lagi, ajukan lagi izin baru. Ini buat pembelajaran juga serta agar tidak ada lagi konsumen kesehatan yang dirugikan," imbuhnya.
Penulis: Feryanto Hadi