TRIBUNNEWS.COM, BOGOR - Sudah setahun lebih, Maria Agnes memendam kesedihan setelah ditinggal pergi anaknya, Hilarius Christian Event Raharjo (15) selama-lamanya.
Suasana duka pun masih sangat kental terasa di kediaman almarhum, Jalan Cipaku, Gang Melati, RT 02 RW 08, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor.
Foto-foto Hilarius semasa hidupnya pun terpampang di beberapa bagian dinding rumah. Sesekali, Maria hanya bisa menangis jika teringat tentang kematian anaknya.
Maria bersama suaminya, Vanansius Raharjo, hanya ingin keadilan di balik kasus kematian anak sulungnya itu.
Hilarius yang saat itu merupakan siswa kelas X SMA Budi Mulia tewas setelah terlibat pertarungan ala gladiator satu lawan satu dengan siswa dari sekolah SMA Mardi Yuana.
Ayah korban, Vanansius menceritakan, Hilarius tewas setelah mengalami luka memar di bagian wajah serta pecahnya pembuluh darah di bagian kepala.
Peristiwa itu terjadi pada tanggal 29 Januari 2016 di sebuah lapangan yang terletak di SMA Negeri 7 Kota Bogor.
"Anak saya waktu itu diajak untuk melihat pertandingn basket. Tapi ternyata, dia sudah disiapin oleh senior kakak kelasnya untuk bertarung dengan murid dari sekolah SMA Mardi Yuana," ucap Vanansius, saat ditemui di kediamannya, Kamis (14/9/2017).
Vanansius mengatakan, pertarungan ala gladiator atau dikenal dengan istilah "bom-boman" itu dilakukan menjelang pertandingan final bola basket antara SMA Budi Mulia dengan SMA Mardi Yuana.
Kata Vanansius, tradisi "bom-boman" itu selalu dilakukan jika kedua sekolah tersebut bertemu dalam ajang kompetisi bola basket yang digelar setiap tahunnya.
Dirinya menyebut, ritual "bom-boman" tersebut melibatkan para senior dan alumni dari kedua sekolah itu.
Korbannya adalah junior mereka yang masih duduk di kelas satu SMA. Para junior ini, lanjut Vanansius, dipaksa diadu fisiknya dengan berduel tangan kosong oleh para seniornya. Lawannya adalah murid dari sekolah lain yang sebelumnya juga sudah disiapkan.
"Kakak kelas ini dikoordinir sama alumni sekolah. Jegernya atau promotornya, ya alumni itu, yang mengelola kelas tiga. Mereka mencari anak-anak yang baru masuk untuk dipaksa berduel," kata Vanansius.
Ia menambahkan, tradisi "bom-boman" antar kedua sekolah itu sudah lama berlangsung dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sebelum berduel, mereka mencari lapangan yang sepi. Hanya komunitas mereka saja yang bisa melihat pertarungan ala gladiator itu secara langsung.
"Saya dapat informasi itu dari semua orang yang saat itu ada di lokasi kejadian, termasuk dari teman anak saya. Acara (bom-boman, red) ini emang udah lama, tapi yang sampai tewas ya baru ini, anak saya. Setelah kejadian ini, baru pada tahu ternyata ada ajang seperti itu. Pihak sekolah dan guru juga tidak tahu awalnya," ungkapnya.
Keadilan ditegakkan
Sementara itu, Maria meminta agar keadilan bisa ditegakkan. Sebab, kata dia, meski pelaku utama yang menewaskan anaknya sudah dikeluarkan dari sekolah, namun hal itu belum dirasa cukup untuk memberikan efek jera.
Selain itu, alumni yang menjadi promotor "bom-boman" juga tidak diketahui keberadaannya. Beberapa siswa yang ikut terlibat pun hanya dikenai sanksi skors dari pihak sekolah.
"Ada 50 orang lebih yang menonton anak saya disiksa sampai sakratul maut. Divideokan oleh siswa-siswa yang menyaksikan," tutur Maria.
Selain itu, ia bersama suami juga menolak ketika jasad Hilarius harus diotopsi. Bagi dia, hatinya akan lebih tersiksa lagi jika harus melihat jenazah putranya diotopsi.
"Dan harus disiksa lagi dengan otopsi. Bukankah saya berhak untuk menolak otopsi. Tapi saya inginkan supaya semua pelakunya dihukum," kata Maria.
Putranya, sambung Maria, sempat ingin mundur dan tidak mau berkelahi namun pinggangnya ditendang. Hilarius, kata dia, berusaha bangkit dan mengalami kejang-kejang tapi terus dipukul kepalanya hingga meninggal.
"Hila meninggal di TKP. Di lapangan SMU Negeri 7 Indrapasta Bogor. (Pukulan di kepala) atas suruhan promotor dari SMA Mardi Yuana. Dia bilang, 'pukul Hila yang belum KO'," ujar Maria.
Dia mengaku juga sudah memiliki bukti-bukti surat pernyataan dari para siswa yang ikut terlibat dan menyaksikan anaknya tewas. Mereka mengakui bahwa Hilarius tewas karena dipukul dalam duel tersebut.
Dengan bukti yang dimilikinya, ia dan suami berharap bisa mendapat keadilan. Sekarang, baik Maria maupun Vanansius hanya ingin peristiwa seperti itu tidak terjadi lagi. Mereka berharap kasus yang merenggut nyawa Hilarius bisa menjadi pembelajaran oleh semua pihak.
Sebelumnya, Maria sempat mencurahkan perasaan sedihnya lewat akun Facebook pribadinya, Maria Agnes.
Dalam postingan yang ditulisnya pada tanggal 12 September 2017, Maria memohon kepada Presiden Joko Widodo dapat menegakkan keadilan atas kasus yang merenggut nyawa anaknya.(Kontributor Bogor, Ramdhan Triyadi Bempah)
Berita ini sudah dimuat di Kompas.com dengan judul: Maria Kisahkan Anaknya Dihajar Tanpa Ampun hingga Tewas dalam Duel ala Gladiator