TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Beberapa pakar dan praktisi menegaskan reklamasi termasuk di Teluk Jakarta merupakan proyek biasa yang tidak perlu ditakutkan. Berbagai kendala teknis yang dihadapi juga dapat diselesaikan sesuai dasar keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Profesor Herman Wahyudi, Pakar Geoteknik Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya menjelaskan masyarakat tidak perlu alergi terhadap proyek reklamasi.
"Secara teknis reklamasi aman dan tidak ada persoalan," kata Herman saat menjadi salah satu pembicara dalam Diskusi Publik Himpunan Masyarakat Islam (HMI) Cabang Jakarta Pusat-Utara di Jakarta, Kamis (7/11/2017) sore.
Menurut Herman, reklamasi Teluk Jakarta menyangkut berbagai aspek yaitu teknis, ekonomi, finansial, politik, sosial dan alam. Sayangnya, belakangan aspek politik lebih dominan dibandingkan dengan pembahasan mengenai teknis reklamasi itu sendiri.
Dia mencontohkan, untuk mengantisipasi kekeruhan perairan sementara saat proses pengurukan, pelaksana proyek dapat memasang penghalang lumpur (silt barricade). Selain itu, reklamasi yang dibangun dalam bentuk pulau-pulau yang terpisah dengan daratan juga sudah tepat.
Hal ini dapat menghindarkan daratan dari banjir akibat luapan air laut. Layout posisi lahan reklamasi dibuat terpisah terhadap daratan utama dengan jarak lebih dari 100 meter. Adapun penanggulangan banjir yang disebabkan sungai antara lain dapat dilakukan dengan pembuatan tanggul, normalisasi sungai, serta pembuatan waduk pengendali banjir. "Secara teknis semua ada solusinya," tegas Herman.
Firdaus Ali, Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Bidang Sumber Daya Air menambahkan reklamasi merupakan bagian dari cara memperluas daya tangkap dan daya dukung lingkungan. Kota lain di dunia seperti Osaka dan Tokyo (Jepang), Shanghai (China), serta Singapura yang berada di pinggir laut juga melakukan reklamasi.
Sebagai perbandingan, negara Singapura memiliki luas hampir sama dengan Jakarta hanya memiliki penduduk 4,9 juta, sehingga ruang terbuka hijaunya mencapai 48%. Sementara Jakarta dengan penduduk 13 juta Jiwa hanya memiliki ruang terbuka hijau 9,8%. "Mau menambah menjadi 14% saja sulit karena tidak ada ruangnya," terang Firdaus.
Sayangnya, aspek politis reklamasi yang terlalu dominan turut mengaburkan kepentingan negara dan masyarakat yang lebih besar. Menurut Firdaus, dalam kontestasi Pilkada Jakarta beberapa waktu lalu, alasan apapun termasuk menghentikan reklamasi dapat digunakan untuk meningkatkan elektabilitas calon. Padahal, tidak ada negara di dunia yang ibukotanya memiliki kondisi teluk separah Jakarta.
Firdaus mengingatkan bahwa reklamasi merupakan solusi yang paling konkret untuk memperbaiki kondisi lingkungan di Teluk Jakarta. "Masalah lingkungan itu ada solusinya, di manapun masalah lingkungan ini ada, tetapi kalau ini dikapitalisasi menjadi fitnah itu tidak ada solusinya," tegas Firdaus.
Ahlan Zulfahri, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pemuda Maritim Indonesia (APMI) menambahkan jika sebuah agenda dimasukkan ke dalam pertarungan politik maka aspek teknis dan ekologis menjadi sulit dikaji. "Harapannya reklamasi ke depan bukan hanya melakukan kepentingan berbau politis, tetapi juga manfaat untuk masyarakat sekitar," kata Ahlan.
Dia menyarankan berbagai kalangan, terutama nelayan tidak terjebak kepada permainan politik para elit yang terlibat pertarungan menjelang Pilpres 2019. Apalagi, secara sejarah reklamasi di Teluk Jakarta sesungguhnya sudah digagas sejak lama.
Selain itu, berbagai kampanye negatif yang berasal dari mereka yang menolak reklamasi tidak punya dasar yang kuat. Contohnya, isu tenaga kerja dan warga China yang akan menguasai proyek reklamasi Teluk Jakarta. "Memangnya luas pulau reklamasi berapa?," tegas Ahlan.
Demikian pula dengan premis bahwa reklamasi mengganggu daerah tangkapan ikan nelayan. Padahal, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, mayoritas nelayan Teluk Jakarta memiliki izin menangkap ikan di wilayah Indonesia Timur. "Ini artinya perairan Jakarta memang tidak memiliki potensi perikanan," pungkas Ahlan.