TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Era ‘Indonesia Emas’ atau 100 Tahun Indonesia Merdeka pada 2045 akan berada di tangan anak-anak muda yang pada tiga dekade ke depan akan menjadi para pemimpin bangsa.
Itu artinya, sambung semua kepemimpinan dalam lingkup lembaga, kementerian, sampai dengan pejabat di dalamnya berada di tangan anak-anak muda yang rata-rata sekarang berumur 25 tahun.
Pernyataan itu disampaikan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko saat menerima peserta Kader Bangsa Fellowship Program Sekolah Pemimpin Muda Indonesia (SPMI), di Kantor Staf Presiden, Jum’at, minggu lalu.
“Dengan sistem politik saat ini, yakinlah pada saya, siapapun bisa menjadi apapun dan kapanpun,” tegas Moeldoko.
Dalam arahannya, Moeldoko memfokuskan pada bagaimana memimpin dan membangun Indonesia dalam kacamata kaum muda di era digital. Diingatkannya, kaum muda mesti punya mimpi yang tinggi dan gagasan besar.
Namun di sisi lain, perlu juga memahami hal detail, teliti, dan tersistem. Ini lantaran semua kebijakan publik bersifat holistik.
Lebih dari itu, lanjutnya, pemimpin adalah pembuat keputusan. Di tengah beragam persoalan, pemimpin harus memutuskan. Untuk membuat keputusan pemimpin perlu didukung informasi dan diperkuat oleh intuisi. Intuisi ini ditimba dari berbagai pengalaman. Intinya adalah sebuah proses belajar terus-menerus.
“Jadi nikmatilah ketika Anda bekerja di mana pun. Itu adalah akumulasi dan agregat. Itu sebuah kapital dalam membangun intuisi seorang pemimpin. Itu rumus kepemimpinan,” ujar Moeldoko.
Mantan Panglima TNI ini lantas memberi gambaran bagaimana saat menjadi tentara. Dirinya sudah dilatih menjadi pemimpin. Saat dilantik sebagai perwira pertama, ia harus memimpin 46 orang. Setelah tiga tahun, meningkat menjadi memimpin 145 orang.
Tujuh tahun kemudian, sebagai wakil komandan batalion memimpin 700 orang, plus dua tahun sebagai komandan batalion. Lalu, 20 tahun kemudian memimpin 17 ribu orang, dan seterusnya.
“Maknanya, proses belajar harus dinikmati. Cermat dan detil dalam bersikap. Sehingga nanti begitu kalian dalam tataran strategik dan politik sudah mapan,” ujarnya.
Moeldoko mengungkapkan, seorang pemimpin juga wajib memahami masa depan. Bahkan, harus bisa membuat skenario di tengah dunia yang diwarnai perubahan, kecepatan, kompleksitas, dan risiko. Oleh karena itu, dirinya mengingatkan agar anak muda membangun jaringan dan kepercayaan untuk kepentingan nasional.
“Dunia telah menuju ke sana teman-teman. Sepuluh tahun ke depan ada tren yang tidak bisa dihindari. Persoalan energi, lingkungan, teknologi, robotik, dan kecerdasan buatan. Semua perubahan membawa perubahan struktur lingkungan yang luar biasa,” tuturnya.
Moeldoko yakin lingkungan saat ini memberikan dukungan yang luar biasa dalam melahirkan generasi hebat di masa depan. Jadi, yang penting adalah mengoptimalisasi kondisi yang ada, berani menghadapi tantangan, dan tidak gampang menyerah.
“Waktu itu kalau saya menyerah dengan keterbatasan yang saya miliki, pasti saya tidak seperti ini. Bayangkan orang tua saya membelikan saya sepeda saja nggak bisa. Saya harus lari-lari pagi naik kereta. Seringkali nggak dibawain duit karena memang nggak punya duit. Seringkali kejar-kejaran dengan kondektur karena nggak punya uang, padahal hanya 10 perak,” katanya.
Kepala sekolah SPMI Dimas Oky Nugroho memaparkan, sekolah ini merupakan program komprehensif untuk calon pemimpin muda. Selain belajar di kelas, para siswa juga menimba ilmu di lapangan menemui para pejabat pemerintahan.
“Mereka adalah kader muda lintas wilayah yang melibatkan berbagai latar belakang profesi. Kami juga mengundang beberapa pakar kebangsaan, kepemimpinan, dan kewirausahaan untuk memperluas wawasan para siswa,” tutur Dimas.
Dilihat dari latar asal daerah, para peserta datang dari seluruh Indonesia dengan beragam latar belakang profesi.
Mulai dari dosen, kepala daerah, ormas kemahasiswaan, aktivis, jurnalis, entreprenur, pegiat digital, ilmuwan, politisi, konsultan bisnis, pengusaha, dan sebagainya.