TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim penasihat hukum terpidana kasus ujaran kebencian Asma Dewi mempertimbangkan mengajukan banding terhadap putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Pada Kamis (15/3/2018), Majelis Hakim PN Jakarta Selatan menjatuhkan vonis kepada Asma Dewi pidana penjara selama lima bulan 15 hari terkait kasus ujaran kebencian bernuansa SARA.
Wakil Ketua ACTA, Akhmad Leksono, mengapresiasi vonis putusan 5 bulan 15 hari terhadap Asma Dewi oleh Majelis Hakim PN Jakarta Selatan dengan dipotong masa tahanan, dan tanpa perintah masuk dalam tahanan.
Baca: Rangkuman Hasil All England Open 2018: Hanya Marcus/Kevin Wakil Indonesia yang Mampu Bertahan
"Asma Dewi & ACTA selaku Kuasa Hukum sedang dalam posisi masih berpikir-pikir terhadap putusan," tuturnya, Sabtu (17/3/2018).
Menurut dia, di fakta persidangan Asma Dewi menjalani masa penahanan sejak 8 September 2017 sampai dengan 17 Maret 2018 atau selama 190 hari.
Sedangkan proses hukum yang dijalani Asma Dewi sejak sidang Dakwaan 6 November 2017 sampai dengan Putusan 15 Maret 2018 telah berjalan 130 hari.
Meskipun mengapresiasi putusan majelis hakim, namun, dia menilai, setiap warga negara mempunyai hak untuk terus menyampaikan aspirasi, masukan dan kritikan kepada pemerintah.
"Bangsa ini tetap mendapatkan ruang penghormatan sesuai prinsip kebebasan berdemokrasi menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara yang diatur UU dan UUD 1945 khususnya ketentuan Pasal Kebebasan berserikat dan berkumpul serta kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum sebagai kritik yang membangun," tambahnya.
Sebelumnya, Majelis Hakim PN Jakarta Selatan telah memutus perkara Asma Dewi dengan putusan pada intinya menyatakan Terdakwa terbukti menghina kekuasaan pemerintah saat ini, divonis sebesar lima bulan 15 hari dan membayar biaya perkara sebesar Rp 5.000.
Majelis Hakim dalam perkara Asma Dewi ini dipimpin oleh Yang Mulia Aris Bawono Langgeng, SH, MH, selaku Ketua Majelis Hakim, dengan Hakim Anggota R. Iim Nurohim, SH, MH., dan H. Kartim Haeruddin SH, MH.
Dia terbukti melanggar Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).