TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ombudsman Republik Indonesia (ORI) angkat suara seputar polemik transportasi online, secara khusus tarif.
“Pengaturan ojek online lebih kompleks dibandingkan taksi online karena ojek online belum ada peraturannya. Saran kami, sebaiknya regulator merevisi UU No 22 Tahun 2009,” ujar Alvin Lie, anggota Ombudsman RI, saat dihubungi awak media di Jakarta, Kamis (26/4/2018).
Dia mengakui ojek online merupakan realita yang diandalkan masyarakat sebagai moda transportasi. Situasi ini perlu direspons tentang legalitasnya.
“Jadi, undang-undang yang mengaturnya sebaiknya relevan dengan realita ojek online saat ini,” tutur Alvin.
Ombudsman sendiri, sambung Alvin, menyoroti sejumlah hal yang diwacanakan DPR dalam pembahasan ojek onliner bersama pemerintah.
Baca: Marak Aksi Demo Ojek Online, Ini Saran YLKI Soal Penentuan Tarif
Hal pertama adalah mengatur relasi kerja antara aplikator dengan mitra driver sehingga hubungan keduanya setara.
Kedua, perlunya pengaturan tarif sehingga tak ada perang tarif. Dengan begitu ekosistem bisnis transportasi online dapat beroperasi secara berkesinambungan.
“Penetapan tarif ojek online akan menjamin kepastian usaha di masa mendatang,” ungkapnya.
Ketiga, perlunya jaminan dan perlindungan kepada konsumen.
Sebelumnya, Ketua Komisi V DPR Fary Djami Francis berjanji untuk membahas ojek online ini dengan Kementerian Perhubungan.
”Kami berinisiatif merevisi UU Lalu Lintas dan Jalan Raya (UU No 22/2009). Tapi pemerintah sementara ini jangan diam, harus ambil inisiatif,” tukasnya.