News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Perempuan dengan Bakat Alamiahnya Jaga Perdamaian Harus Terus Ditingkatkan kata Siti Khariroh

Editor: Toni Bramantoro
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Siti Khariroh

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus terorisme yang terjadi di Indonesia banyak melibatkan kaum perempuan.

Kasus bom bunuh diri Surabaya, bom Sibolga, bom panci Bekasi, rencana penyerangan Mako Brimob, dan terakhir penangkapan perempuan terduga teroris di Klaten, menjadi bukti, kaum perempuan telah aktif dalam gerakan kelompok radikal.

Komisioner Komnas Perempuan Siti Khariroh, MA mengatakan, dulu perempuan lebih banyak berkiprah sebagai pendukung di balik layar seperti peran mendidik anak menjadi teroris baru dan menyembunyikan suami mereka, serta peralatan terorisme, kini perempuan berada di garda terdepan aksi terorisme dengan menjadi martir dan pengantin bom.

“Saya melihat ada proses penggunaan perempuan untuk tujuan terorisme sehingga perempuan kemudian menjadi pelaku. Karena kalau kita lihat profil perempuan yang terjerat terorisme, terutama yang sudah sudah dipidana, kalau kita lihat siklus kehidupannya rata-rata mereka adalah korban, meski faktanya pelaku,” ungkap Siti Khariroh, Jumat (22/3/2019).

Menurut Khariroh, ada hal-hal yang menyebabkan perempuan kemudian digunakan sebagai garda terdepan aksi terorisme. Seperti kasus bom panci di Bekasi dengan pelaku seorang perempuan bernama Dian Yulia.

Sejak awal dinikahi oleh suami terorisnya melalui nikah online, ia terus mendapatkan doktrin ideologi radikal, termasuk janji-janji masuk surga, termasuk relasi yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan di kelompok jaringan terorisme yang mengharapkan kepatutan mutlak istri terhadap suami, seolah-olah suami adalah wakil Tuhan.

Contoh lainnya, lanjut dia, Umi Delima, istri Santoso (Mujahidin Indonesia Timur/MIT). Ia sebenarnya hanya korban karena sejak dinikahi usia 16 tahun ia terus dicekoki ideologi radikal.

Kemudian karena dia memakai cadar, ia tidak diterima di masyarakat sekitar, sehingga ia pun menyusul suaminya ke gunung.

“Dari situ perempuan-perempuan itu mengubah konsep diri mereka, kemudian terjebak, dan ditambah doktrin dari suami dan kelompoknya. Intinya, mesi berada di garda terdepan, perempuan sebenarnya adalah korban dari struktur di jaringan terorisme, yang memang ingin menggunakan perempuan untuk tujuan ideologis, politisdari terorisme itu sendiri,” ungkap Khariroh.

Sebenarnya, lanjut Khariroh, dari beberapa perempuan yang terlibat terorisme, mereka awalnya adalah perempuan yang aktif di masyarakat baik itu di kegiatan sosial maupun pengajian.

 Namun mereka kemudian menikah, dan ironisnya yang dinikahi bagian dari jaringan terorisme. Dari survei yang pernah dilakukan, 90 persen istri narapidana terorisme (napiter) awalnya tidak tahu tentang terorisme. Mereka baru tahu ketika ada proses penangkapan.

Selama berkeluarga itulah, mereka mendapat pengajaran tentang dominasi laki-laki dalam rumah tangga, ditambah doktrin keagamaan yang diajarkan sangat menglorifikasi peran laki-laki serta doktrin jihad juga Islam yang ditindas.

Namun kondisi itu berubah setelah kejadian bom Sibolga, dimana istri terduga teroris ternyata lebih radikal dibandingkan suaminya. Ia bahkan tidak bersedia menyerah dan memilih meledakkan diri di dalam rumah bersama anaknya. Khariroh menilai, fakta ini harus terus dikaji.

Apalagi kalau melihat fenomena deportan dari Suriah, dimana peran perempuan ternyata memang lebih kuat dalam mendorong suaminya untuk bergabung dengan ISIS.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini