Menurutnya, melakukan tadarus Al-Quran bagi umat muslim itu adalah untuk menempatkan wahyu Allah itu diatas pikiran manusia. “Jangan di balik wahyu Allah di tafsirkan menurut emosi, perasaan dan nafsu manusia. Kalau terbalik seperti itu yang terjadi adalah panas. Kalau panas itu terjadi maka yang terjadi adalah permusuhan antara yang satu dengan yang lain,” ujar Peneliti Senior Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama ini.
Lalu kepada umat muslim yang sudah memiliki posisi-posisi yang baik itu menurutnya, hendaknya bulan Ramadan ini juga bisa digunakan sebagai sarana untuk penyucian harta dengan ditebarkan untuk kepentingan masyarakat pada umumnya. Karena dengan cara seperti itu maka akan muncul rasa cinta kasih dan kedamaian.
“Kalau cinta kasih dan kedamaian itu muncul dari para tokoh atau para elite, maka masyarakat akan mengikuti dan kembali bahwa kita itu sebagai bangsa yang damai. Yang mana sebagai Bangsa yang satu dengan yang lain, seperti duku yaitu ketika ikrar bersama sebagai Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa lalu dilanjutkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang mana Proklamasi Kemerdekaan itu untuk memakmurkan bangsa Indonesia,” katanya.
Untuk itu mantan Ketua Komisi Pengkajian dan Penelitian Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta ini meminta kepada seluruh umat muslim bahwa bulan Ramadan ini harus bisa menjadi momentum terbaik bagi umat Islam membangun persaudaraan dan perdamaian.
Karena masyarakat Islam di Indonesia dan di seluruh dunia telah menyambut Ramadhan dengan berbagai macam tradisi yang sangat luar biasa, indah dan penuh makna.
“Kalau di Semarang ada acara namanya Warak Ngendog dalam menyambut Ramadan. Warak Ngendok itu adalah simbolisasi yang bermula dari ajaran para wali di jaman dahulu. Warak itu diibaratkan makhluk rekaan yang merupakan akulturasi/ persatuan dari berbagai golongan etnis di Semarang yaitu etnis Cina, etnis Arab dan etnis Jawa sebagai upaya intuk menjaga kehormatan, perilakunya agar sesuai dengan akhlak yang mulia,” ujarnya.
Dijelaskan Syafii Mufid, hal itu terjadi karena di jaman Wali dulu, kalau manusia bisa menjaga perilaku dengan akhlak yang mulia, maka Warak itu akan Ngendok (bertelur) yang artinya berbuah dan bermanfaat, sehingga menjadi manusia yang bermanfaat. Sehingga dapat menjadi manusia yang bisa menjaga moral, budi pekerti, akhlak, karakter yang luhur.
“Nah Ramadan itu di ibaratkan sebagai Warak yang Ngendok itu. Ini merupakan simbolisasi yang dibuat oleh para pendahulu kita tentang memaknai Ramadan dalam bentuk festival atau tradisi yang dibalut dengan kesenian. Bahkan di daerah-daerah lain ada yang berziarah ke makam orang tua dengan mendoakan kedua orang tuanya. Itulah suasana yang menandai datangnya bulan suci Ramdan,” urainya.