TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Beberapa hari sebelum hadirnya bulan Ramadan ini, bangsa Indonesia telah melakukan pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) dengan agenda Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg).
Dimana sebelum Pemilu itu ada proses kampanye yang sangat panjang dan menyita perhatian publik sehingga masyarakat Indonesia seperti dibuat terkotak-kotak karena adanya fitnah, penyebaran berita bohong (hoax) dan sebagainya.
Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof KH. Nasaruddin Umar, MA, Ph.D, menghimbau kepada masyarakat Tanah Air khususnya umat muslim harus bisa memaknai bulan Ramadan ini sebagai momentum terbaik untuk mempererat tali persaudaraan, perdamaian dan saling memaafkan.
Hal ini dikarenakan bulan Ramadan kali ini bagi bangsa Indonesia ini betul-betul sangat rahmat. Karena Ramadan hadir di waktu yang tepat dan sangat timely.
“Dimana saat sebelum Pemilu kemarin tentunya kita pernah dilukai hati kita oleh orang lain, mungkin kita pernah dikecewakan oleh orang lain. Dan bahkan kita mungkin juga pernah mengecewakan atau melukai hati orang lain. Nah di bulan suci Ramadan ini kita dianjurkan untuk saling memaafkan untuk mempererat tali persaudaraan dan perdamaian,” papar Prof KH. Nasaruddin Umar, Jumat (10/5/2019).
Lebih lanjut mantan Wakil Menteri Agama Ri ini berharap agar dengan adanya bulan Ramadan ini, kita semua dapat mendinginkan situasi yang diibaratkan PanasSetahun Dihapuskan oleh Hujan Sehari.
Untuk itu dirinya mengimbau kepada umat Islam pada khusunya, untuk menjadikan bulan suci Ramadan ini sebagai bulan penyejuk, bulan pendingin dan bulan untuk mendamaikan satu sama lain di antara kita.
“Sehingga diharapkan nantinya begitu kita keluar dari bulan suci Ramadan ini seperti sudah tidak pernah ada apa-apa. Jadi kita tidak ada lagi semacam dendam, tidak ada lagi kekecewaan yang muncul, sehingga ringan beban kita dan termaafkan oleh Allah SWT secara vertikal, dan ringan juga beban kita karena kita sudah saling memaafkan secara horizontal,” jelas pria kelahiran Bone, 23 Juni 1959 ini.
Dengan demikian menurut Prof. Nasaruddin, jika kita bisa saling memaafkan maka bulan Ramadan ini akan melunasi kita semuanya, membereskan kita semuanya dan melicinkan segalanya.
Hal ini agar kita semua kedepannya agar lebih fokus untuk membangun negeri inidi masa depan, agar bangsa ini juga bisa bersaing dengan negara-negara yang sudah maju lainnya.
“Dan kalau perlu kita bisa melebihi negara-negara lainnya itu. Karena kita ini kan berobsesi Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur yakni negeri yang sangat indah dan penuh dengan pengampunan Tuhan,” ujar pria yang juga Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini.
Menurutnya, dengan adanya Pemilu kemarin itu dirinya meminta kepada segenap warga masyarakat dan bangsa Indonesia bahwa kita semua harus bisa bersyukur dan belajar di sebuah pengalaman yang sangat bagus dalam demokrasi di Indonesia ini. Dimana dirinya memberikan contoh sejatinya banyak sekali orang oranglain seperti masyarakat Timur Tengah yang negara-negaranya mayoritas muslim ingin seperti Indonesia.
“Dimana mereka ingin juga untuk menentukan pimpinannya sendiri, tapi apa boleh buat hal itu tidak bisa terjadi. Karena di negara mereka (kawasan Timur Tengah) pimpinannya itu ditentukan nasibnya oleh segelintir orang yang berdarah ‘biru’, dimana meraka ini adalah negara Kerajaan. Jangan mimpi bisa menjadiKepala Negara kalau tidak ada turunan darah ‘biru’ nya,” kata pria yang juga Rektor Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an (PTIQ) ini.
Hal ini menurutnya sangat berbeda jauh dengan di Indonesia, dimana setiap warga negara itu bisa dan punya hak untuk menjadi Kepala Negara sekalipun. Sementara kalau di negara-negara Kerajaan tentunya tidak mungkin bisa seperti Indonesia.
“Nah jadi itu. Jadi kita harus bersyukur kalau ada kemarin hal-hal yang sedikit riak-riak itu sebenanya adalah bumbu-bumbu demokrasi lah. Lebih baik seperti itu dari pada terlihat suasana yang Adem, tapi sebenarnya terlihat mencekam Kalau itu terjadi, ledakannya bisa seperti di Suriah, Irak, Afghanistan. Tentunya kita tidak ingin seperti itu. Mari kita berikan semacam kanalisasi terhadap sesuatu yang bisa menimbulkan ledakan dalam batin kita masing-masing,” tutur peraih Doktoral dari Universitas Leiden, Belanda ini.
Karena bulan suci Ramadan ini menurutnya betul-betul sangat indah karena bisa mendamaikan semua orang serta bisa menyejukkan situasi.
“Dimana malam malam kita bisa pergi untuk bertarawih bersama, kemudian di dalam masjid sudah tidak adalagi yang namanya 01 atau 02. Hilanglah semua itu di dalam masjid. Yang ada hanya Allah Subhanahu Wa Ta'ala, Allahu Akbar, kan seperti itu,” ungkap peraih Pascasarjana dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Untuk itu dirinya juga menghimbau kepada para seluruh tokoh-tokoh bangsa, tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk bisa memelihara dan menahan diri untuk tidak memberikan statement yang bisa membikin situasi menjadi keruh kembali. Setelah Ramadan ini nanti tentunya semua pihak harus tetap bisa mendinginkansituasi.
“Hemat saya, bukan orang hebat, bukan oranglah pintar yang tidak pernah me-ngerem apapun yang ada di dalam benaknya. Tidak mesti harus mengungkapkan semua uneg-uneg (perasaan yang terpendam) yang mampir di Kepala kita. Karena orang yang matang adalah orang yang mampu untuk bicara seperlunya," tuturnya.
Karena menurut mantan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam di Kementerian Agama ini, kalau tidak ada keuntungannya tentunya kenapa harus bicara yang bisa membuat suasana menjadi keruh.
“Biarkanlah kita pendam sendiri saja. Biarkanlah orang lain mungkin jatuh, tapi jangan karena dari mulut kita. Mari kita jangan menjadi faktor penyebab situasi semakin keruh, tapi jadilah faktor yang dapat membikin situasi menjadi lebih tenang,” katanya.