Tapi kian waktu karena kunjungan yang kian sepi, Hendrik melihat penjualan toko di sebelahnya tidak lagi manis. Hingga akhirnya toko pakaian olahraga itu tutup beberapa bulan lalu. Hendrik menduga karena pemilik tak sanggup membayar sewa toko.
Berbeda dengan mantan tetangganya itu, bosnya Hendrik tidak menyewa lapak di ITC Mangga Dua. Lapak itu sudah menjadi hak milik bosnya Hendrik. Artinya, toko itu tidak terlalu terbebani dengan biaya sewa per tahun atau per bulannya.
Tapi kenyataannya, kata Hendrik, pihaknya kerap kesulitan juga membayar tagihan service, termasuk listrik bulanan. “Sebulan sekitar Rp 2,2 juta harga biaya service itu, waktu itu (belum lama) karena omset tidak nutup, pernah telat bayar. Kalau telat bayar denda lagi Rp 50.000,” jelasnya.
Keramaian yang pernah ada di ITC Mangga Dua, kata Hendrik, terakhir kali kerap disaksikannya di tahun 2018. Pemandangan di lantai dasar sedikit berbeda.
Tingkat keramainnya lebih tinggi dibandingkan lantai di atasnya.
Jarak antara satu lapak dengan lainnya juga padat dan ruang bagi pejalan kaki untuk melihat-lihat juga sempit. Tapi suasana ramai itu juga bukan yang biasanya diamati oleh para pedagang di ITC Mangga Dua di masa-masa lampau.
Yanto, pemilik toko pernak-pernik yang diimpor dari Eropa, bahkan berceloteh bahwa sekarang pengunjung lari saja bisa. “Dulu berdesakkan itu biasa,” ujarnya.
Lapaknya berada tidak jauh dari salah satu pintu masuk ITC Mangga Dua. Kata Yanto, ITC Mangga Dua sejak tahun 2017 mengalami penurunan jumlah kunjungan secara perlahan. Saat ini, paling-paling barang dagangannya hanya laku dua buah setiap bulan.
Barang dagangan Yanto memang bisa dibilang barang tersier. Pernak pernik yang berbahan dasar keramik, kaca, hingga tembaga itu dijual di kisaran harga Rp 500 ribu sampai Rp 2 juta. Cukup mahal untuk sekedar pernak pernik yang fungsinya sekedar penghias ruangan. Toh barang itu, pernah jadi sasaran pembeli yang datang ke ITC Mangga Dua. Yanto sendiri telah berjualan di mall itu sejak 1999.
Salah seorang pelanggan yang mengaku tinggal tidak jauh dari ITC Mangga Dua mengatakan bahwa dulu, setiap Minggu ITC Mangga Dua selalu padat. Pelanggan yang tidak ingin disebut namanya itu juga mengaku pernah berjualan makanan di ITC Mangga Dua. Alasan dia menutup toko bukan pula karena sepi, tapi karena saat itu dirinya harus ikut suaminya bertugas di Samarinda. "Sepi banget sekarang mah Pak," katanya yang sedang duduk di sebelah penulis saat penulis makan.
Sampai saat ini aksi tawar menawar memang masih terdengar dari lantai dasar hingga lantai enam ITC Mangga Dua.
Tapi, suara yang lebih dominan adalah tawaran para pedagang ke pendatang yang memang ingin berbelanja, atau sekedar lewat. ‘Boleh silakan berbelanja’, ‘boleh sepatunya’, ‘boleh tasnya’, dan tawaran-tawaran lain semacamnya.
Reporter: Harry Muthahhari