News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Hakim akan Putuskan Gugatan 4 Pengamen Cipulir Korban Salah Tangkap Hari Ini

Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sidang praperadilan kasus salah tangkap empat pengamen di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (23/7/2019)

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Annas Furqon Hakim

TRIBUNJAKARTA.COM, PASAR MINGGU - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan memutuskan gugatan ganti rugi yang diajukan empat pengamen Cipulir korban salah tangkap polisi.

Sidang putusan tersebut akan digelar hari ini, Selasa (30/7/2019) pukul 13.30 WIB.

Kuasa hukum para pengamen, Oky Wiratama, berharap gugatan kliennya dapat dikabulkan oleh Hakim.

"Semoga gugatan ganti kerugiannya dikabulkan, dan hak anak-anak pengamen diberikan," kata Oky saat dihubungi.

Meski demikian, pengacara dari LBH Jakarta itu menyerahkan keputusannya kepada Hakim.

"Kalau optimistis, tetap optimistis. Tapi semua tergantung dari keputusan Hakim. Kita nggak ada yang tahu. Semoga keadilan ditegakkan," tutur Oky.

Sebelumnya, empat pengamen Cipulir, yakni Fikri, Fatahilla, Ucok, dan Pau, menggugat ganti rugi senilai Rp 750,9 juta lantaran menjadi korban salah tangkap.

Gugatan itu diajukan kepada Kapolda Metro Jaya, Kajati DKI, dan Menteri Keuangan RI.

4 Pengamen Bacakan Bukti Penyiksaan dan Salah Tangkap oleh Polisi

Sidang praperadilan kasus empat pengamen korban salah tangkap berlanjut dengan agenda kesimpulan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Di dalam pembacaan kesimpulan, kuasa hukum empat pengamen, Okky Wiratama Siagian menolak dalil-dalil termohon satu, dua, serta turut termohon di hadapan Hakim Tunggal, Elfian.

Ia membacakan 58 poin dengan total 30 halaman.

Pada salah satu poin kesimpulan yang dibacakannya, Okky mengatakan para terpidana tidak bersalah dan telah terjadi penyiksaan.

Hal itu telah menjadi pertimbangan hakim di dalam salah satu Putusan Peninjauan Kembali No.131/PK/Pid.Sus/2015.

Ia menegaskan para terpidana yang melakukan peninjauan kembali (PK) mengungkap adanya kekhilafan atau kekeliruan dalam penangkapan.

Sebab, lanjut Okky, keterangan para terpidana yang ada dalam berita acara pemeriksaan (BAP) telah dibantah dan dicabut oleh para terpidana di persidangan.

Pencabutan dilakukan dengan alasan berada di bawah intimidasi, penyiksaan dan tidak ada pendampingan penasehat hukum.

"Sehingga keterangan tersebut, terpaksa dikarang dan tidak sesuai dengan fakta. Alasan ini dapat dibenarkan karena terpidana masih anak-anak yang gampang untuk ditakut-takuti dan tidak ada saksi lain yang mendengar sendiri, melihat sendiri merasakan sendiri pada saat kejadian," ujarnya.

"Oleh karena itu tidak diperoleh bukti yang cukup untuk menyatakan para terpidana sebagai pelaku tindak pidana terhadap korban Dicky Maulana," lanjutnya.

Saat persidangan itu, turut dihadiri tiga termohon dari Polda Metro Jaya, Kejaksaan Tinggi DKI, dan Kementerian Keuangan.

Seusai sidang kesimpulan Okky, mengatakan kesimpulan yang dibacakannya membuktikan telah terjadi penyiksaan berdasarkan bukti yang pernah diajukan sebelumnya.

"Bukti surat kenyataan anak-anak, saksi juga ada, pertimbangan hakim dalam putusan PK menyatakan telah terbukti intimidasi dan penyiksaan. Alasan ini dapat dibenarkan, karena terpidana masih anak-anak yang mudah ditakuti," ujarnya kepada wartawan pada Jumat (26/7/2019).

Fikri Pengamen Salah Tangkap Pindah ke Lapas Tangerang

Fikri Pribadi (23) mengaku baru pertama kali mendekam di balik jeruji besi selepas ia menjadi tersangka kasus pembunuhan pengamen di Cipulir.

Pada tahun 2013, ia dijebloskan ke penjara di Rutan Salemba bersama para napi anak lainnya.

Selama di Salemba, Fikri pun dianggap sebagai kepala kamar (Palkam), sebutan pemimpin di kamar tahanan.

Ia mengaku pernah bertikai dengan sesama napi di dalam kamar tahanan.

"Saya pernah bermasalah juga ketika dipenjara. Saya berantem sama anak baru, enggak tahunya dia punya penyakit asma, dia seperti kejang-kejang," terangnya kepada TribunJakarta.com pada Jumat (26/7/2019).

Pengamen korban salah tangkap, Fikri Pribadi di PN Jakarta Selatan, Jumat (26/7/2019). (TRIBUNJAKARTA.COM/SATRIO SARWO TRENGGINAS)

Akibat membuat gaduh tahanan, Fikri dimasukkan ke dalam sel tikus, sebutan kamar tahanan yang sempit bagi para pembuat onar di penjara.

"Saya dimasukkin ke sel tikus. Kamarnya kecil, Enggak bisa keluar. Di dalam sempit banget. Mau buang air ya di situ juga. Pokoknya waktu di tahanan saya sering berantem," akunya.

Tak berselang lama dari peristiwa itu, Fikri kemudian dipindahkan ke Lapas Anak Tangerang.

"Di sana sistemnya kayak "Kerajaan", istilahnya tiap Palkamnya dilayani, disediain makan sama anak buahnya. Kalau pagi suruh nyapuin halaman, wajib nurut," katanya.

Kini, Fikri telah bebas atas kesalahan yang terbukti tidak dilakukan berdasarkan putusan Mahkamah Agung.

"Sebenarnya saya udah melupain masa lalu saya, saya sekarang kerja melaut jadi nelayan di Maluku," ujarnya.

Pengamen Salah Tangkap Diseret Masuk Penjara Makan Nasi Keras

Masih membekas dalam ingatan Fikri Pribadi (23), pengamen korban salah tangkap saat pertama kali mendekam di balik dinginnya jeruji tahanan Salemba, Jakarta Pusat.

Kala itu, pada tahun 2013, Fikri diajak berkenalan oleh para narapidana di rutan usai dirinya digelandang masuk ke dalam penjara.

"Pertama saya masuk, pasti kena pukul sama orang-orang lamanya. Diajak kenalan lah. Maksudnya dipukuli, diinjek-injek. Kalau kata mereka digeberin sama pentolannya," kata Fikri kepada TribunJakarta.com pada Jumat (26/7/2019).

Di dalam rutan, Fikri tinggal bersama lima para narapidana lainnya.

"Sebelumnya saya belum pernah masuk penjara, satu kamar ada lima orang. Selama dua tahun sekamar sama mereka," lanjutnya.

Berbeda dengan kasus yang menjeratnya, teman-teman sekamarnya tersandung kasus narkoba.

"Ada yang kasus sabu, ganja. Kebanyakan mereka kasus ganja," terangnya.

Saat jam makan di rutan, dirinya mengaku tak berselera untuk makan melihat makanan yang disediakan.

"Kalau mau makan, melihatnya aja ogah. Kayaknya napi juga yang masak. Asal-asalan masaknya. Nasinya keras, yang enak cuma tempe. Ayam enggak pernah dapet," tambahnya.

Kendati banyak pengalaman tak mengenakkan yang membekas, Fikri tak ingin menggali lebih dalam ingatannya.

"Saya sudah mencoba melupakan itu semua," tandasnya.

Fikri merupakan korban salah tangkap yang dilakukan Polda Metro Jaya pada tahun 2013.

Ia beserta ketiga pengamen lainnya mendekam di balik jeruji besi hingga dibebaskan tahun 2016.

Kasus salah tangkap itu berawal pada tahun 2013, mereka berempat dinyatakan bersalah oleh kepolisian lantaran melakukan pembunuhan antar pengamen lain dengan motif berebut lapak pengamen di Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Keempat pengamen itu, dipaksa mengaku dengan cara disiksa semasa berada di dalam tahanan kepolisian.

Sehingga mereka harus mendekam di balik jeruji besi di Tangerang hingga keluar tahun 2016.

Di persidangan terbukti bahwa korban yang tewas bukanlah pengamen, dan keempat pengamen itu bukan pembunuh korban.

Melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, kasus mereka kemudian dibawa menuju meja hijau.

Menurut Kuasa Hukum korban dari LBH Jakarta, Oky Wiratama Siagian, Mahkamah Agung memutuskan keempat korban tidak bersalah melalui putusan Nomor 131 PK/Pid.Sus/2016.

"Di Mahkamah Agung, putusannya menyatakan membebaskan keempat anak kecil ini. Nah, kami memberitahu kepada mereka, ketika putusannya bebas maka ada hak mereka yang bisa dituntut ganti kerugian. Dan udah ada mekanismenya dari PP 92 tahun 2015," ujarnya kepada wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu (17/7/2019).

Ucok Sang Pengamen Korban Salah Tangkap Bakal Beri Uang ke Ibunda Jika Tuntutan Dikabulkan Hakim

Ucok duduk bersandar menunggu panggilan sidang kasus korban salah tangkap kembali bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Ia beserta ketiga korban salah tangkap lainnya bakal kembali menjalani sidang dengan agenda pembuktian dari pihak termohon.

Pria dengan nama lengkap Arga Putra Samosir itu mengaku sempat tak puas dengan jawaban yang dilontarkan saksi saat sidang sebelumnya.

Saat itu, ia mendengar kesaksian yang diungkapkan oleh saksi pihaknya ternyata jauh dari harapannya.

"Awalnya sih saya sempat enggak puas dengan jawaban ayah angkat Fatah (korban salah tangkap lainnya) yang enggak bisa jawab kapan masuk dan dibebaskannya kita," ujarnya heran kepada TribunJakarta.com pada Kamis (25/7/2019).

Namun, Ucok berpendapat saksi-saksi dari pihaknya merasa gugup saat berada di hadapan hakim.

"Ya mungkin bingung atau gelisah saat ditanya hakim. Apalagi ibu saya pas di depan majelis hakim. Bukannya ngejawab, malah curhat," ujarnya enteng sambil tertawa.

Padahal, Ia yakin saksi-saksi dari pihaknya ke muka sidang paham betul dengan pertanyaan yang ditanyakan ketiga termohon dari pihak Polda Metro Jaya, Kejaksaan Tinggi DKI, dan Kementerian Keuangan RI.

Kendati merasa tak puas, Ucok tetap melihat ada secercah harapan dalam kasus ini.

Ia berkaca dengan kedua korban sebelumnya yang dinyatakan tak bersalah dan mendapatkan ganti rugi berupa uang sebesar Rp 36 juta seorang.

"Ya mereka sebelumnya dapat ganti rugi, seharusnya kita juga bisa kan," ujarnya.

"Masa kita sudah disiksa, enggak bersalah, menjalani penjara sampai dua tahun lebih, enggak dapat apa-apa akhirnya, coba gimana?" keluhnya.

Apabila dikabulkan, Ucok bertekad untuk membalas budi kepada ibunya.

"Ibu saya juga habis-habisan. Saya enggak bisa bantu uang, kan dia harus bolak-balik ke Tangerang. Bisa tiga kali seminggu jenguk. Kalau dapat uangnya saya akan berikan kepada ibu saya dulu, sisanya buat usaha," tandasnya.

Ucok Sang Pengamen Putus Sekolah Hingga Tak Bisa Bantu Orangtua

Ucok tengah menunggu di PN Jakarta Selatan pada Kamis (25/7/2019). (Tribunjakarta.com/Satrio Sarwo Trengginas)

Di hadapan hakim tunggal, Netty Herawati Hutabarat (47) mengaku sering diberikan uang oleh anaknya dari hasil mengamen.

Netty mengatakan anaknya, Arga Putra Samosir, mengamen bersama teman-temannya meski sang ibu melarangnya.

"Dia itu memang suka ngamen, saya enggak senang anak saya ngamen. Padahal dia saya sekolahkan," bebernya di hadapan Hakim Tunggal, Elfian pada Rabu (24/7/2019).

Meski dilarang, namun Ucok sering membantu Netty dalam mencukupi kebutuhan hidupnya dari hasil mengamen.

"Dia itu suka nyari celah buat ngamen, karena kalau ketahuan saya marahi. Tapi dari hasil mengamen, ia suka memberi saya Rp 50 ribu atau Rp 100 ribu. Nih, bu ada uang dari saya ngamen. Ya bantu-bantu buat keluarga," terangnya.

Saat Ucok tertangkap, Netty pun harus bolak-balik lapas Tangerang untuk menjenguknya.

"Karena tertangkap, saya kunjungi anak saya. Lumayan uang transport yang saya keluarkan dari Polda hingga di lapas Tangerang," bebernya.

"Selain itu, Ucok yang sekolah karena dipenjara jadi putus sekolah," tambahnya.

Saat ditanya terkait sejak kapan Ucok pulang ke rumah, Netty tak bisa menjawab pasti.

"Mana kuingat lagi itu lupa itu semua. Banyak yang dipikirin dalam hidup ini," tandasnya.

Anaknya merupakan korban salah tangkap yang dilakukan Polda Metro Jaya pada tahun 2013.

Ia beserta ketiga pengamen lainnya mendekam di balik jeruji besi hingga keluar tahun 2016.

Menurut Kuasa Hukum korban dari LBH Jakarta, Oky Wiratama Siagian, Mahkamah Agung memutuskan keempat korban tidak bersalah melalui putusan Nomor 131 PK/Pid.Sus/2016.

"Di Mahkamah Agung, putusannya menyatakan membebaskan keempat anak kecil ini. Nah, kami memberitahu kepada mereka, ketika putusannya bebas maka ada hak mereka yang bisa dituntut ganti kerugian. Dan udah ada mekanismenya dari PP 92 tahun 2015," ujarnya kepada wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu (17/7/2019).

Anaknya Ditahan Jadi Korban Salah Tangkap, Ibu Pengamen Akui Sulit Cari Nafkah

Netty, ibu dari Ucok, salah satu korban salah tangkap pada Rabu (24/7/2019). (Tribunjakarta.com/Satrio Sarwo Trengginas)

Selama anaknya mendekam di balik dinginnya jeruji besi, Netty Herawati Hutabarat (47) diselimuti kegelisahan.

Pikiran Netty terbelah antara keharusan membesuk anaknya Arga Putra Samosir alias Ucok (13) dan berdagang sayuran di dekat rumahnya.

Pengakuan itu diungkapkan olehnya di hadapan Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

"Dulu sebelum dia masuk saya dagang sayuran, tapi setelah dia masuk dagangan saya berantakan. Saya jadi enggak jelas lagi dagangnya," ujar Netty di ruang sidang empat.

Netty juga harus bolak-balik menuju Lapas Anak di Tangerang untuk membesuk Ucok.

"Kalau saya besuk biasanya saya kasih duit. Saya sudah keluarkan uang transport saya mulai dari Polda hingga Tangerang," terangnya.

Saat ditanya terkait sejak kapan Ucok pulang ke rumah, Netty tak bisa menjawab pasti.

"Mana kuingat lagi itu lupa itu semua. Banyak yang dipikirin dalam hidup ini," tandasnya.

Anaknya merupakan korban salah tangkap yang dilakukan Polda Metro Jaya pada tahun 2013.

Ia beserta ketiga pengamen lainnya mendekam di balik jeruji besi hingga keluar tahun 2016.

Menurut Kuasa Hukum korban dari LBH Jakarta, Oky Wiratama Siagian, Mahkamah Agung memutuskan keempat korban tidak bersalah melalui putusan Nomor 131 PK/Pid.Sus/2016.

"Di Mahkamah Agung, putusannya menyatakan membebaskan keempat anak kecil ini. Nah, kami memberitahu kepada mereka, ketika putusannya bebas maka ada hak mereka yang bisa dituntut ganti kerugian. Dan udah ada mekanismenya dari PP 92 tahun 2015," ujarnya kepada wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu (17/7/2019).

Ibu Pengamen Korban Salah Tangkap Bantah Anaknya Jadi Pembunuh

Orangtua salah satu pengamen korban salah tangkap, Netty Samosir (47) hadir sebagai saksi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Dalam kesaksiannya, Netty tak menyangka anaknya Arga Putra Samosir alias Ucok (13) turut terlibat membunuh Diki Maulana di Cipulir, Kebayoran Lama pada tahun 2013.

Netty meyakini Ucok merupakan korban salah tangkap saat dimasukkan ke Unit Kejahatan dan Kekerasan (Jatanras) Polda Metro Jaya sebelum dijadikan tersangka.

"Dia aja saya gertak takut, kan waktu itu dia masih 13 tahun," ujar Netty dalam kesaksiannya di ruang sidang di hadapan Majelis Hakim pada Rabu (24/7/2019).

Ucok dikenal oleh Netty sebagai pribadi yang tertutup.

"Dia memang orangnya tertutup. Kalau ada apa-apa dia enggak mau cerita," tambahnya.

Bahkan, Netty sebenarnya tak setuju dengan Ucok yang menjadi pengamen.

"Dulu itu kan dia ngamen, dia itu curi-curi ngamennya kalau ketahuan kan saya marahi. Saya mesti bertanggung jawab sama anak saya. Tapi kemudian tiba-tiba orang Polda datang ke rumah. Bilang anak saya ditahan," lanjutnya.

Mendengar jawaban polisi bahwa anaknya terlibat pembunuhan, Netty pun sempat tak sadarkan diri.

"Ketika saya tanya, kasus apa pak? Pembunuhan. Dengar itu saya udah pingsan duluan," katanya.

Selama tiga tahun, Ucok mendekam di balik jeruji tahanan.

Banyak biaya yang dikeluarkan oleh Netty untuk membantu menghidupi anaknya di dalam tahanan.

"Kalau saya besuk dia, pasti saya kasih uang. Mulai dari Polda sampai ke tempat dia di penjara, di Tangerang," katanya.

Empat pengamen yang salah tangkap saat itu masih berusia belasan tahun, Fikri (17), Fatahillah (12), Ucok (13), dan Pau (16).

Mereka beralasan semenjak dinyatakan tak bersalah pada tahun 2016 silam, belum mendapatkan ganti rugi atas kesalahan yang dilakukan polisi.

Mereka pun menuntut ganti rugi berupa biaya materiil secara keseluruhan sebesar Rp 662.400.000 dan biaya imateriil sebesar Rp 88.500.000 juta.

Bila ditotal, ganti rugi yang didapatkan keempat pengamen korban salah tangkap mencapai total Rp 750 juta.

Kasus salah tangkap itu berawal pada tahun 2013, mereka berempat dinyatakan bersalah oleh kepolisian lantaran melakukan pembunuhan antar pengamen lain dengan motif berebut lapak pengamen di Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Keempat pengamen itu, dipaksa mengaku dengan cara disiksa semasa berada di dalam tahanan kepolisian.

Sehingga mereka harus mendekam di balik jeruji besi di Tangerang hingga keluar tahun 2016.

Di persidangan terbukti bahwa korban yang tewas bukanlah pengamen, dan keempat pengamen itu bukan pembunuh korban.

Melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, kasus mereka kemudian dibawa menuju meja hijau.

Menurut Kuasa Hukum korban dari LBH Jakarta, Oky Wiratama Siagian, Mahkamah Agung memutuskan keempat korban tidak bersalah melalui putusan Nomor 131 PK/Pid.Sus/2016.

"Di Mahkamah Agung, putusannya menyatakan membebaskan keempat anak kecil ini. Nah, kami memberitahu kepada mereka, ketika putusannya bebas maka ada hak mereka yang bisa dituntut ganti kerugian. Dan udah ada mekanismenya dari PP 92 tahun 2015," ujarnya kepada wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu (17/7/2019).

Kuasa Hukum Empat Pengamen Korban Salah Tangkap Sebut Pelaku Asli Telah Ditangkap

Kuasa Hukum empat pengamen korban salah tangkap, Okky Wiratama Siagian meyakinkan bahwa pembunuh asli Diki Maulana di bawah jembatan Cipulir telah ditangkap.

Laporan itu telah diajukan kepada Mahkamah Agung sehingga bukti tersebut akan menguatkan keempat kliennya yang tak bersalah.

Okky melanjutkan pelaku asli telah tertangkap oleh LBH Jakarta dengan serentetan bukti riwayat chat.

"Pelakunya ketangkap sama LBH Jakarta, ada bukti-bukti chatnya di facebook dan sms juga kalau dia memang pelakunya. Kita bawa ke kantor polisi. Sempat ditolak juga dari polisi, tapi diterima," lanjutnya.

Pihak Kepolisian, lanjut Okky, seharusnya mengakui bahwa keempat pengamen merupakan korban salah tangkap.

"Kalau dibilang tidak mengakui ya silahkan saja berkomentar. Tapi kan kita berkaca pada putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Jadi enggak ada alasan untuk tak mengakui. Kalau tidak, silahkan saja komplen ke MA," tuturnya.

Pelaku asli yang sudah ditangkap sebanyak tiga orang.

"Pelaku utamanya berinisial I," ujar Okky singkat.

Artikel ini telah tayang di Tribunjakarta.com : https://jakarta.tribunnews.com/2019/07/30/hari-ini-4-pengamen-cipulir-korban-salah-tangkap-menanti-putusan-hakim?page=all.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini