TRIBUNNEWS.COM - Pengamat politik M Qodari menilai, lamanya kekosongan posisi jabatan wakil gubernur DKI Jakarta merupakan korban dari arogansi partai politik yang berebut kekuasaan.
Kursi Wagub DKI kosong sejak 10 Agustus 2018, setelah Sandiaga Uno memutuskan maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto pada Pilpres 2019.
Jadi, hampir 1,5 tahun warga DKI tak punya wagub.
"Poinnya adalah, memang Jakarta menjadi korban bagi kepentingan politik PKS dan Gerindra," kata Qodari saat dihubungi Kompas.com, Selasa (21/1/2020).
Mekanisme pengisian kekosongan jabatan wagub diatur dalam Pasal 176 UU No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Pasal itu mengatur, partai politik pengusung harus mengusulkan dua orang calon Wagub untuk dipilih oleh DPRD provinsi dalam rapat paripurna.
Sementara pasangan Anies Baswedan-Sandiaga saat Pilkada DKI Jakarta 2017 diusung dua parpol, yaitu Partai Gerindra dan PKS.
Qodari menilai, konflik tersebut sebenarnya sudah dimulai setelah Sandiaga memilih mundur untuk menjadi Cawapres di pemilu 2019.
Namun, masalah wagub itu disembunyikan oleh kedua partai untuk mengamankan suara di Pemilu 2019 lalu.
"Karena kalau itu (masalah posisi wagub) dimunculkan jauh-jauh hari sebelum pilpres, itu jadi batu ganjalan proses Pilpres 2019," ucap dia.
Qodari mengibaratkan masalah wagub DKI Jakarta tersebut seperti menyapu kotoran ke bawah karpet.
Ketika karpet tersebut diangkat, muncul kembali masalah yang sebelumnya sempat ditutupi kedua partai itu.
"Ketika pilpres sudah selesai, kepentingan berkoalisi sudah selesai, sudah lewat. Apalagi kemudian ternyata mereka berbeda di konstelasi baru politik nasional, maka kemudian konflik itu menjadi terbuka," kata dia.
Proses pemilihan wagub DKI mandek sejak masa jabatan DPRD periode 2014-2019.