Namun rumah tersebut dijual oleh anak tirinya tanpa sepengetahuannya.
"Saya kan menikahi janda anak 3. Nama ini sakit gula basah di rawat di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo. Waktu itu istri saya lagi dirawat pas saya pulang tuh sudah dijual rumahnya. Saya tahunya pas pulang ke rumah itu sudah orang lain yang tempatin," katanya.
Menurut Dedi, anaknya tirinya itu merasa memiliki rumah tersebut.
Sebab, tanah rumah tersebut memang milik Nama.
"Tanahnya memang milik ibunya anak-anak. Nama itu dapat tanah warisan di Kampung Raden. Tapi kan yang bangunin rumahnya itu saya. Anaknya dia malah seenaknya saja menjual rumah itu tanpa sepengetahuan saya," katanya.
Akhirnya, dengan terpaksa, Dedi mengontrak rumah di kawasan yang sama.
Sayangnya, tak berselang lama, Nama meninggal dunia akibat penyakitnya.
Disusul dengan buah cinta keduanya anak yang meninggal di usia 3 bulan.
"Dari tahun 1996 itu istri saya meninggal, anak saya juga. Kemudian anak tiri saya sudah pergi entah kemana. Ya sudah selama itu juga saya hidup sebatang kara," katanya.
Untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya, Dedi hanya mengandalkan penghasilan dari penjualan ikan.
"Sekarang ini sedang sepi. Paling penghasilan bersih saya cuma Rp 20 ribu sampai Rp 30 ribu. Tapi alhamdulillah kadang suka ada rezeki lain. Tahu-tahu ada orang berhenti kasih uang. Uang itu aja palingan yang saya gunakan untuk bayar kontrakan," katanya.
Sering tahan lapar
Hidup sebatang kara tanpa sanak saudara, membuat Didi kerap merasa kesulitan.
Mulai dari makan saja, Didi merasa sangat kesulitan.