Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus mengatakan, proses pidana tidak hanya bisa dilakukan kepada klinik praktik aborsi ilegal di Paseban, Jakarta Pusat. Namun, pasien yang mengugurkan kandungan juga bisa dijerat pidana.
Yusri mengatakan, aturan tersebut mengacu di dalam UU 36 Tahun 2009 tentang kesehatan.
"Mereka juga bisa dihukum kan dalam UU kesehatan ada," kata Yusri kepada Tribunnews.com, Rabu (19/2/2020).
Menurut Yusri, rata-rata pasien klinik Paseban yang mengugurkan kandungan atau aborsi adalah kasus hamil di luar nikah.
"Rata-rata memang hamil di luar nikah, kemudian juga dia mau kerja persyaratannya harus tidam boleh hamil, tapi saat itu dia hamil," jelas dia.
Baca: Temukan 33 Kendaraan Polisi Gandeng PPATK Telisik Aset Klinik Aborsi di Jakarta
Baca: Dokter Hingga Staf Tersangka Praktik Aborsi di Jakarta Pusat Ternyata Residivis
Namun demikian, pihak kepolisian mempunyai kendala untuk mencari identitas ratusan pasien yang telah mengugurkan kandungan di klinik aborsi illegal Paseban.
"Kenapa mereka memilih klinik aborsi Paseban? Karena disitu bisa menyimpan rahasia pribadi dan mereka gak perlu mencantumkan alamat mereka, yang ada hanya nama dan umur," tukas dia.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya membongkar praktik klinik aborsi ilegal di daerah Paseban, Jakarta Pusat pada Selasa (11/2/2020).
Dalam kasus tersebut terdapat tiga tersangka yakni MM alias dokter A. SI, dan RM. Tercatat, ada 1.600 orang lebih telah mendatangi klinik ilegal tersebut dan 900 diantaranya telah menggugurkan kehamilan mereka.
Adapun alasan pasien yang datang ke klinik ilegal di Paseban, rata-rata karena hamil diluar nikah, persyaratan kerja yang tidak boleh hamil, dan gagal KB.
Dalam penentuan tarifnya, klinik tersebut menetapkan tarif yang berbeda pada setiap pasiennya. Janin satu bulan Rp 1 juta, dua bulan Rp 2 juta, dan tiga bulan Rp 3 juta.
Sementara untuk pasien yang menggugurkan janin berusia diatas empat bulan, dokter yang membuka praktik ilegal ini mematok harga dari Rp 4-15 juta.