TRIBUNNEWS.COM - Sebagian masyarakat cenderung menyalahkan pakaian korban pelecehan seksual.
Seperti halnya dalam kasus pelecehan seksual yang dilakukan pegawai Starbucks pada seorang pengunjung.
Dalam video yang beredar, diketahui seorang pegawai Starbucks menyorot bagian payudara pengunjung melalui CCTV.
Sementara, seorang pegawai lainnya merekam aksi tersebut sambil tertawa-tawa lalu menyebarkannya di media sosial.
Video itupun kemudian viral saat diunggah ulang oleh akun Twitter @LisaAbet pada Rabu (1/7/2020) lalu.
Menanggapi video yang beredar, seorang warganet menyatakan hal itu wajar saja terjadi karena pakaian korban cenderung terbuka.
"Ya kalo tertutup sih gaakan di zoom, jadi ya gimana yah itu udh terbuka aurat nya ya mubazir aja gitu kalo ga di zoom," ujar seorang warganet di Twitter.
Mengenai komentar masyarakat yang cenderung menyalahkan cara berpakaian para korban pelecehan seksual, Aktivis Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM) Solo, Fitri Haryani, menilai hal itu terjadi karena masih adanya budaya patriarki.
Baca: FAKTA Tersangka Kasus Intip Payudara Pengunjung Starbucks: Motif Sebenarnya hingga Ancaman Hukuman
Menurutnya, hal itu kemudian membuat perempuan mendapatkan pelabelan mereka yang berpakaian terbuka wajar saja dilecehkan atau bahkan diperkosa.
"Saya melihat masih ada relasi yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan."
"Masih ada budaya patriarki yang kemudian menjadikan perempuan mendapatkan pelabelan atau stereotip misalnya pelabelan seperti ungkapan 'ya wajar karena pakaian seksi kemudian layak perempuan diperkosa'," ujar Manajer Divisi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Berbasis Masyarakat (PPKBM) SPEK-HAM Solo itu pada Tribunnews.com, Jumat (3/7/2020).
Tanggapan Aktivis Perempuan soal Kasus Pelecehan Seksual di Starbucks
Sementara itu, Fitri pun menanggapi video viral pegawai Starbucks yang mengintip payudara pengunjung melalui CCTV.
Menurut Fitri, tindakan yang dilakukan pelaku merupakan bentuk kekerasan seksual, meskipun menggunakan media.