TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik penghentian penyelidikan kasus dugaan korupsi bagi-bagi THR yang menyeret sejumlah pejabat Universitas Negeri Jakarta (UNJ) oleh Polda Metro Jaya.
Sebelum digarap Polda Metro Jaya, kasus ini merupakan temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana sudah menduga bahwa kasus suap dengan dalih THR yang diduga melibatkan Rektor UNJ Komaruddin ini akan menguap begitu saja.
"Sebab, sedari awal KPK sudah terlihat tidak profesional dan terkesan takut untuk menindak Rektor UNJ," kata Kurnia dalam keterangannya, Jumat (10/7/2020).
Baca: KPK Sebut Penghentian Penyelidikan Kasus Rektor UNJ Merupakan Kewenangan Polda
Kurnia menguraikan, ada beberapa argumentasi yang bisa diberikan sebelum tiba pada kesimpulan tersebut.
Pertama, berdasarkan rilis yang disampaikan oleh Deputi Penindakan KPK Karyoto, menurut Kurnia, sebenarnya sudah terang-benderang menyebutkan bahwa Rektor UNJ Komaruddin mempunyai inisiatif melalui Kepala Bagian Kepegawaian UNJ untuk mengumpulkan uang THR kepada Dekan Fakultas dan lembaga di UNJ agar nantinya bisa diserahkan ke pegawai Kemendikbud.
"Pada bagian ini saja setidaknya sudah ada dua dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi, yakni praktik pemerasan dan suap," katanya.
Kedua, polemik terkait tidak adanya unsur penyelenggara negara sebagaimana disampaikan oleh KPK dinilai Kurnia sebagai alasan yang terlalu mengada-ngada.
Sebab, dijelaskannya, Pasal 2 angka 7 UU 28/1999 sudah menyatakan bahwa Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri dikategorikan sebagai penyelenggara negara.
Maka dari itu, dengan mengaitkan dua argumentasi di atas dengan Pasal 11 ayat (1) UU 19/2019 sebenarnya KPK dapat menindaklanjuti kasus tersebut.
"Memang harus dikatakan bahwa semenjak KPK dipimpin oleh Komjen Firli Bahuri lembaga antirasuah ini telah mengalami banyak perubahan yang berorientasi pada penurunan kinerja dalam pemberantasan korupsi," tegasnya.
Untuk itu, menurut Kurnia, publik rasanya memang harus menurunkan ekspektasi pada KPK.
"Sebab jika untuk menindak pejabat universitas saja takut, bagaimana mungkin masyarakat berharap KPK akan berani memproses elit kekuasaan yang terlibat praktik korupsi? Tentu mustahil," ujarnya.
Di sisi lain, menurutnya, dalih Kepolisian untuk menghentikan penyelidikan kasus ini pun berbanding terbalik dengan alasan KPK.
"Satu sisi Kepolisian mengatakan perbuatan tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi, sedangkan KPK menggunakan alasan tidak adanya keterlibatan oknum penyelenggara negara," ujar Kurnia.
Padahal, ICW sedari awal meyakini kasus ini telah memenuhi seluruh unsur dalam ketentuan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni perbuatan berupa pemerasan dan suap yang dilakukan oleh penyelenggara negara.
"Bahkan, tidak menutup kemungkinan pemberian uang kepada pegawai Kemendikbud tersebut memiliki motif tertentu, bukan sebatas pemberian THR semata sebagaimana disampaikan oleh KPK," kata Kurnia.